ABD HAFID BASO: RESESI THAILAND PELAJARAN MAHAL BAGI INDONESIA

Belanja Besar di Tengah Ekonomi Global yang Ringkih Bisa Jadi Jalan Menuju Krisis

Opini24 Views

Jakarta, rakyatmenilai.com — Thailand resmi masuk ke jurang resesi setelah dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Data dari Bank Sentral Thailand dan laporan Reuters (25 Juni 2025) menyebutkan bahwa kontraksi ini dipicu oleh penurunan tajam ekspor, lambatnya pemulihan pariwisata, persaingan ketat dari produk murah Tiongkok, serta ketidakpastian politik domestik.

Bagi Indonesia, kabar ini bukan sekadar isu luar negeri. Sebagai mitra utama di ASEAN, tekanan ekonomi Thailand bisa menimbulkan efek kontagion—penularan krisis melalui perdagangan, investasi, dan sentimen pasar. Ini terjadi dalam waktu yang sangat krusial: ketika pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto mulai mengimplementasikan sejumlah program besar yang sangat fiskal-ekspansif, seperti makan bergisi gratis (MBG), dana abadi pesantren, proyek ketahanan pangan dan pertahanan, serta akselerasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Pertanyaannya, apakah ekonomi Indonesia cukup tahan terhadap tekanan dari luar dan dalam sekaligus?

Bahaya Kontagion dan Tekanan Regional

Resesi Thailand bisa berdampak pada Indonesia melalui tiga saluran utama. Pertama, jalur perdagangan. Pelemahan permintaan dari Thailand dan kawasan bisa mengganggu ekspor Indonesia, terutama produk-produk manufaktur yang saling terhubung dalam rantai nilai regional. Kedua, jalur keuangan. Jika investor global menilai ASEAN sebagai kawasan berisiko, arus modal bisa keluar dari Indonesia sebagaimana terjadi pada krisis-krisis sebelumnya. Ketiga, jalur psikologis. Pelemahan nilai tukar, lonjakan CDS (Credit Default Swap), dan volatilitas pasar bisa mengerek biaya pinjaman dan mengganggu stabilitas makro.

Simulasi pesimis menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa melambat ke level 4,3 persen (turun dari baseline 4,9 persen), sementara defisit fiskal dapat melebar hingga 3,3 persen dari PDB. Jika tidak terkendali, utang pemerintah bisa mendekati 41 persen PDB—sebuah angka yang secara nominal masih aman, tapi mengkhawatirkan jika dibarengi oleh belanja yang tidak produktif.

Beban Program Besar dan Risiko Fiskal

Di sisi domestik, pemerintah tengah menjalankan agenda yang sangat ambisius. Komitmen anggaran untuk program makan bergizi gratis saja diperkirakan mencapai Rp 400–500 triliun per tahun dalam skenario penuh. Belum termasuk pembiayaan IKN, pertahanan, ketahanan pangan, subsidi energi, dan program jaminan sosial lainnya.

Dalam kondisi ideal, ekspansi fiskal ini bisa memacu pertumbuhan dan membuka lapangan kerja. Namun, dalam situasi global yang melambat dan tekanan eksternal yang meningkat, ekspansi semacam ini mengandung risiko besar. Jika pendapatan negara melemah, program-program tersebut bisa menjadi bumerang fiskal, yaitu mendorong defisit anggaran, meningkatkan utang, dan melemahkan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan ekonomi.

Teori ekonomi klasik menyebutkan bahwa dalam situasi ketidakpastian global, yang paling dibutuhkan adalah disiplin anggaran dan kejelasan arah kebijakan. Keynesianisme memang mendorong peran negara dalam menstimulus ekonomi saat permintaan lemah, tapi belanja harus tepat sasaran dan memberi efek pengganda tinggi, bukan semata populis atau konsumtif.

Jalan Tengah: Produktivitas dan Ketahanan

Indonesia tidak perlu membatalkan program-program prioritas nasional. Namun, realisasinya perlu dikawal ketat agar tidak mengorbankan stabilitas fiskal jangka menengah. Beberapa langkah penting perlu dipertimbangkan:

Pertama, lakukan prioritisasi belanja pada sektor-sektor yang berdampak langsung terhadap produktivitas dan penciptaan nilai tambah, seperti pertanian modern, industri hilir, pendidikan vokasi, dan infrastruktur dasar.

Kedua, perluas dan percepat reformasi pajak, terutama dalam sektor digital, ekonomi informal, dan mineral bernilai tinggi. Rasio pajak terhadap PDB saat ini masih di bawah 10 persen—salah satu yang terendah di Asia.

Ketiga, jaga koordinasi antara otoritas fiskal, moneter, dan sektor keuangan. Komunikasi yang solid dan transparan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK akan menjaga ekspektasi pasar dan memperkuat kepercayaan publik.

Keempat, aktifkan kerja sama regional. Resesi Thailand harus menjadi momentum bagi ASEAN untuk memperkuat mekanisme kolektif seperti AMRO, CMIM, dan sistem peringatan dini untuk krisis ekonomi kawasan.

Menjaga Rasionalitas dalam Agenda Besar

Kita tentu memahami semangat besar pemerintahan baru dalam mendorong pertumbuhan inklusif dan pemerataan pembangunan. Namun, semangat itu harus dilandasi oleh kalkulasi rasional dan kehati-hatian fiskal.

Dalam situasi eksternal yang tidak menentu, belanja besar tanpa pengendalian bisa menjadi risiko sistemik. Sejarah membuktikan bahwa krisis sering kali tidak datang dari arah yang diantisipasi. Resesi Thailand bisa jadi hanya salah satu sinyal awal bahwa kita harus lebih waspada, lebih disiplin, dan lebih cermat dalam mengelola harapan ekonomi rakyat.

Abd Hafid Baso, Pengamat