Druze di Suwayda: Ketika Israel Pilih ‘Warlord’, Demi Siapa Kekacauan Ini Bersemi?

Konflik Internal Komunitas Druze di Suwayda, Suriah, Menghadirkan Dua Pemimpin Berbeda Visi; Kebijakan Israel Dituding Mendukung Sosok Kontroversial yang Mengancam Stabilitas Regional dan Rekonsiliasi Nasional.

Berita, Opini213 Views

DAMASKUS, RAKYATMENILAI.COM – Di tengah carut marut Suriah, sebuah drama internal yang lebih dalam tengah dimainkan di komunitas Druze, khususnya di Suwayda. Ini bukan sekadar bentrokan antar milisi Druze dan Bedouin yang sering disederhanakan media—seolah
satu pihak digambarkan sebagai kelompok ekstrimis brutal, sementara pihak lain sebagai pejuang yang tak bernoda—padahal kenyataan di lapangan jauh lebih berdarah dan kelam, dengan kekejaman yang tak terbantahkan dilakukan oleh kedua belah pihak.

Yang menarik perhatian dunia adalah konflik di dalam tubuh komunitas Druze itu sendiri, sebuah perang saudara tak kasat mata antara dua visi masa depan Suwayda yang begitu kontras, yang diwakili oleh dua pemimpin dengan karakter yang sangat berbeda.
RakyatMenilai.com akan mengupasnya.

Hikmat al-Hijri: Sang Warlord yang Tak Terkendali

Di satu sisi, berdiri Hikmat al-Hijri—sosok yang digambarkan tidak stabil, haus kekuasaan, dan sulit diprediksi. Dulunya seorang ulama loyalis Assad, kini ia menjelma menjadi panglima
perang tak terduga dengan tautan ke sisa-sisa rezim lama, bahkan kejahatan terorganisir dan perdagangan narkotika. Kepemimpinannya konon diwarnai ketidakstabilan mental, tuntutan yang berubah-ubah, dan ambisi yang nekat.

Selama tujuh bulan negosiasi dengan Damaskus—pembicaraan yang seharusnya bisa membawa otonomi nyaris penuh bagi Suwayda—al-Hijri justru menjadi aktor yang menggagalkan setiap langkah. Ia menolak reformasi konstitusi, menuntut perluasan wilayah
provinsi hingga ke pinggiran Damaskus, dan memblokir kompromi yang berarti. Perilakunya begitu irasional hingga sebagian anggota komunitasnya sendiri mulai mempertanyakan “Apakah perlawanan ini untuk komunitas Druze atau hanya untuk egonya sendiri?”

Laith al-Bal’us: Reformis Nasionalis Pembawa Harapan

Kemudian ada Laith al-Bal’us, seorang pemuda karismatik, pewaris legasi ayahnya yang terbunuh, Sheikh Wahid al-Bal’us, dan pemimpin gerakan “Men of Dignity” (Pria-Pria Bermartabat). Ia adalah seorang reformis, nasionalis, dan pemersatu yang memperjuangkan
visi damai: komunitas Druze yang terintegrasi penuh ke dalam Suriah pasca-Assad, namun dengan martabat, hak-hak, dan pemerintahan mandiri.

Al-Bal’us berhasil menarik konsesi nyata dari Damaskus—janji pembentukan kepolisian, peradilan, dan layanan sipil yang dipimpin oleh Druze. Ia juga menjaga jalur komunikasi terbuka
dengan kelompok oposisi lain dan bersedia memainkan peran konstruktif dalam masa depan Suriah yang bersatu. Dan yang terpenting, ketika bentrokan pecah, justru al-Bal’us-lah, bukan
al-Hijri, yang memilih jalan de-eskalasi, persatuan, dan dialog.

Mengapa Israel Memilih Jalan yang Salah?

Melihat dua jalur yang begitu kontras ini—persatuan atau fragmentasi, reformasi atau warlordisme—menjadi sangat membingungkan mengapa Israel justru memberikan dukungannya kepada al-Hijri, seorang separatis yang tidak stabil. Pilihan ini, tentu saja, tidak luput dari perhatian negara-negara Arab dan regional.

Dari Riyadh hingga Abu Dhabi, dari Amman hingga Ankara, para diplomat dan pejabat senior melontarkan pertanyaan yang sama: Mengapa Israel mendukung seorang pria yang menyeret Suwayda ke dalam kekacauan, mempertaruhkan konflik sektarian, dan menggagalkan harapan rekonsiliasi nasional? Mengapa mengabaikan pemimpin yang menawarkan integrasi damai ke dalam negara Suriah?

Ini bukan sekadar kebutaan strategis—ini adalah kemunafikan. Pemerintah Netanyahu berulang kali mengklaim mendukung komunitas Druze. Namun, ternyata, mereka hanya mendukung “jenis” Druze yang tepat: jenis yang menciptakan masalah, bukan jenis yang menciptakan perdamaian.

Kemunafikan yang Terlalu Jelas untuk Diabaikan

Ketika para diplomat di kawasan ini berbicara—dalam forum-forum pribadi—ada konsensus yang berkembang: ini bukan hanya kebingungan strategis dari Israel. Ini adalah sesuatu yang lebih buruk. Ini mengindikasikan bahwa tujuan sebenarnya Tel Aviv bukanlah melindungi minoritas, melainkan memecah belah Suriah.

Beberapa pihak di Israel mungkin percaya bahwa memecah-belah Suriah melayani keamanan mereka, namun ini adalah pandangan jangka pendek yang berbahaya. Empat belas tahun perang telah menghasilkan pejuang-pejuang yang mengeras dan mulai melakukan deradikalisasi—menghidupkan kembali konflik Suriah berisiko menimbulkan dampak regional di Lebanon, Yordania, dan Irak.

Turki, Arab Saudi, UEA, Kuwait, dan Qatar sedang mengucurkan miliaran dolar untuk menstabilkan Suriah yang bersatu. Jika Israel merusak upaya itu, normalisasi hanya akan ada di atas kertas, dan integrasi ekonomi Israel-GCC akan tetap menjadi fantasi belaka. Suriah secara unik menyatukan bangsa Arab dan Turki—mendestabilisasinya justru hanya akan menyatukan mereka untuk melawan siapa pun yang memegang korek api. Kebijakan Israel yang disinyalir memprovokasi kerusuhan sektarian ini jelas patut dipertanyakan oleh seluruh dunia.

 

sumber: Aimen Dean