Abraham Sridjaja: Masa YouTube dan TikTok Diatur Pakai Aturan TV Zaman Antena?

Fraksi Golkar usul bikin UU khusus untuk platform digital agar tak dicampur dengan penyiaran analog

Parlemen139 Views

Senayan, Rakyat Menilai Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Abraham Sridjaja, menyuarakan sikap tegas dalam polemik revisi Undang-Undang Penyiaran. Ia menolak keras upaya menyatukan pengaturan konten digital dan layanan over the top (OTT) seperti YouTube, Netflix, serta TikTok ke dalam kerangka UU Penyiaran. Menurut Abraham, pendekatan ini bukan hanya tidak relevan, tapi juga berbahaya bagi tata kelola ruang digital Indonesia.

“Terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform digital tidak,” kata Abraham Sridjaja, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/6).

Abraham menekankan bahwa RUU Penyiaran yang dirancang lebih dari satu dekade lalu, pada dasarnya disusun untuk mengatur siaran berbasis gelombang radio. Sementara itu, dunia digital telah berkembang jauh melampaui cakupan regulasi yang ada, dan memerlukan pendekatan hukum yang benar-benar baru.

Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja (Foto: RRI/Dedi Hidayat)

“Kalau semua digabung, KPI akan jadi super power. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika saja, TV konvensional dan OTT diatur lembaga berbeda,” tegasnya.

Politikus muda Partai Golkar ini menyuarakan kekhawatiran akan tumpang tindih kewenangan yang bisa terjadi jika revisi UU Penyiaran tetap memaksakan pengawasan konten digital ke dalam mandat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ia menilai, pengaturan seperti ini bisa memicu gesekan antar-lembaga seperti KPI, Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo Digital (Komdigi).

“Kalau tidak jelas sejak awal, ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum,” ujarnya.

Tak hanya soal kelembagaan, Abraham juga menyoroti keresahan publik terkait maraknya konten vulgar dan tidak layak di platform digital. Namun, ia mengingatkan agar respons negara tetap berpijak pada prinsip kehati-hatian dan kejelasan hukum, bukan justru menciptakan pasal karet yang bisa memukul semua arah.

“Kalau mau dimasukkan (OTT), judulnya juga harus berubah. Misalnya jadi ‘RUU Penyiaran dan Konten Digital’. Kalau tidak, masyarakat akan bingung siapa yang berwenang,” kata dia.

Abraham menyatakan, Fraksi Partai Golkar siap mendukung pembentukan UU tersendiri tentang OTT dan Konten Digital, yang disusun secara partisipatif, melibatkan ekosistem kreator, pakar hukum, serta publik luas. “Kita tidak boleh gegabah. Dunia digital itu dinamis. Jangan sampai negara kalah cepat dari perkembangan teknologi,” tutupnya.

sumber: politiknesia