SEMARANG — Pernyataan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin, yang menyiratkan keraguan atas wacana pemekaran Provinsi Jawa Tengah menuai sorotan dari berbagai kalangan, terutama warga dari wilayah Brebes, Cilacap, hingga Banyumas. Bukan tanpa sebab, masyarakat merasa selama ini mereka menjadi ‘korban jarak’ dari pelayanan publik yang terlalu terpusat di ibu kota provinsi.
Dalam pernyataannya usai menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertema “Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif RPJMD Jateng 2025–2029” di Kantor DPD RI Jawa Tengah, Taj Yasin menegaskan bahwa rencana pemekaran provinsi harus mempertimbangkan aspek fiskal.
“Kalau bicara tentang pemekaran, itu yang dihitung kemampuannya fiskalnya. Ketika dipisah, mereka mampu enggak membiayainya?” ujar Taj Yasin. Ia juga menambahkan bahwa semua wilayah, seperti Brebes Selatan, Cilacap, dan Banyumas, harus dihitung kemampuannya secara komprehensif, bukan sekadar menyuarakan keinginan pemekaran.
Namun, pernyataan tersebut justru memicu respons keras dari warga dan tokoh masyarakat setempat. Mereka menilai pemerintah provinsi selama ini kurang peka terhadap kesulitan yang mereka alami akibat jauhnya akses ke pelayanan administrasi, pendidikan, dan kesehatan yang terpusat di ibu kota provinsi.
“Pak, kami jauh dari tempat pelayanan. Jangan hanya bicara fiskal di atas kertas, tapi tutup mata terhadap realita di lapangan,” ungkap Kustoyo, tokoh masyarakat asal Banyumas, yang turut mendukung rencana pemekaran sebagai solusi nyata untuk pemerataan pembangunan.
Di sisi lain, Yasin menilai persoalan jarak seharusnya tidak lagi menjadi masalah dengan hadirnya teknologi digital. “Saat ini kan online, ya kan bisa kita dekatkan,” katanya.
Pernyataan itu pun kembali memantik kekecewaan warga. Menurut mereka, pelayanan digital hanyalah pelengkap, bukan solusi utama. Infrastruktur digital pun belum merata, dan urusan-urusan penting seperti kesehatan, perizinan, dan pengadilan tetap membutuhkan kehadiran fisik.
“Kami tak mau lagi jadi korban jarak! Pemekaran adalah keadilan, bukan kemewahan,” tegas Siti Rokayah, seorang guru dari Brebes yang setiap tahun harus bolak-balik ke Semarang untuk urusan administrasi sekolah.
Anggota DPD RI Jawa Tengah, Abdul Kholik, menegaskan bahwa aspirasi pemekaran dari beberapa daerah memang telah masuk ke provinsi dan menunggu diproses. Ia menyarankan agar rencana tersebut dicantumkan dalam dokumen perencanaan daerah jangka menengah (RPJMD) agar tak sekadar menjadi wacana.
“Selama ini memang kita berharap pada periode sekarang ini usulan itu diproseslah,” ungkapnya.
Desakan pemekaran kini bukan sekadar bisik-bisik warga. Ia telah menjadi teriakan kolektif atas ketimpangan layanan dan pembangunan. Kini bola ada di tangan para pemimpin daerah: akankah mereka berpihak pada rakyat atau tetap terjebak dalam hitung-hitungan fiskal?
Sumber: Detik







