Pakar ketahanan pangan, Dina Hidayana, menyampaikan pandangan kritisnya mengenai masa depan demokrasi Indonesia dalam acara Ngobras (Ngobrol Santai Ide dan Gagasan) bertema “Nomadologi Aktor-aktor Politik Tanpa Ideologi”, Selasa (18/11) di Mattea Social Space, Blok M. Acara ini diselenggarakan Banyan Digital Kreativa dan didukung Radaraktual.com, Politiknesia.com, serta Rakyatmenilai.com sebagai media partner.
Selain Dina, hadir sebagai narasumber Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Idrus Marham dan pengamat politik Syahmud Basri Ngabalin, yang bersama-sama mengupas fenomena nomadologi politik serta implikasinya terhadap masa depan bangsa. Acara ini turut dipandu pegiat media sosial yang juga founder Banyan Digital Kreativa, Achmad Annama.
Dalam pemaparannya, Dina Hidayana menegaskan bahwa buku karya Idrus Marham yang juga menjadi tema acara ini bukan hanya menjadi otokritik, tapi alarm peringatan bagi para politisi dan calon politisi untuk melakukan refleksi mendalam terhadap cara berpolitik yang berkembang selama ini.
“Buku ini mengingatkan kita, terutama para politisi dan calon politisi yang hadir di ruangan ini, bahwa kita membutuhkan otokritik. Bang Idrus Marham menantang kita melakukan otokritik secara masif, bagaimana memenangkan kembali ideologi dalam diri aktor politik dan partai politik,” ujar Dina.
Ketua IKA Faperta UNS ini menilai salah satu kelemahan mendasar politik Indonesia adalah hilangnya ruang otokritik dan pudarnya kesadaran ideologis dalam proses berpolitik. Dogma-dogma politik yang seharusnya menjadi kompas moral justru terpinggirkan dalam dinamika kontestasi kekuasaan.
Ketua Depinas SOKSI ini menekankan bahwa judul buku “Nomadologi Aktor-aktor Politik Tanpa Ideologi” mencerminkan kondisi serius mengenai pergeseran perilaku politik yang semakin pragmatis, jangka pendek, dan tidak berakar pada nilai perjuangan. “Judul buku ini mengingatkan betapa pentingnya peran aktor politik dan partai politik sebagai basis fundamental untuk menentukan Indonesia bergerak maju atau justru mundur,” tegas Dina.
Dina juga mengaitkan tema buku dengan realitas pembangunan nasional. Menurutnya, Indonesia yang telah memasuki usia 80 tahun seharusnya sedang bersiap menyongsong bonus demografi 2030–2035 dan lompatan menuju Indonesia Emas 2045. Namun kenyataan di lapangan tidak sepenuhnya mendukung optimisme tersebut.
“Faktanya, kita menghadapi banyak persoalan. Indeks yang dirilis lembaga kredibel menempatkan Indonesia sebagai negara yang belum cukup kokoh bahkan di tingkat regional. Pertanyaannya: ini salah siapa? Salah aktor politik? Salah sistem? Atau salah partai politik yang belum mampu mereproduksi aktor politik kompeten dan visioner?” ungkapnya.
Ia memaparkan sejumlah indikator yang menurutnya harus menjadi perhatian serius. “Indeks demokrasi kita terus menurun, berada di peringkat 59 dari 164 negara. Indeks kelaparan global menempatkan Indonesia di posisi tiga terburuk di Asia Tenggara bersama Timor Leste dan Laos. Padahal kita negara kaya sumber daya, kaya talenta, tapi kenapa tetap tertinggal?” tanya Dina.
Dina menilai persoalan terbesar berada pada kualitas kepemimpinan. “Saya percaya, busuknya ikan dimulai dari kepalanya. Jika pemimpin tidak visioner dan tidak berakar pada ideologi, maka sulit mengharapkan lahirnya kebijakan publik yang produktif,” tegasnya lagi.
Dina lantas menyoroti tantangan regenerasi politik di Indonesia. Ia mempertanyakan apakah generasi muda masih melihat partai politik sebagai wadah terhormat atau justru sebagai institusi yang mulai kehilangan relevansi.
“Apakah generasi masa depan masih melihat partai sebagai sesuatu yang seksi? Atau justru menganalogikan politik sebagai benda busuk yang tak pantas dijamah? Ini pertanyaan besar yang menentukan masa depan demokrasi kita,” ujarnya.
Menurutnya, pembenahan menyeluruh diperlukan, mulai dari aspek regulasi, tata kelola internal partai, hingga penyaringan kader berbasis kompetensi dan nilai ideologis. Hal ini sejalan dengan gagasan besar buku Idrus Marham tentang pentingnya mengembalikan ideologi sebagai fondasi utama politik.
Diskusi semakin hidup dengan paparan dari Idrus Marham dan Syahmud Basri Ngabalin, menghadirkan spektrum analisis mulai dari ideologi, perilaku elite, hingga sensitivitas generasi muda terhadap transformasi politik.
Tampak hadir dalam acara ini; Ketua Umum DPP KNPI, Tantan Taufik Lubis; Ketua Umum JPPN, Hasrat Tanjung; Ketua Umum Barisan Jakarta (Baja), Lintang Fisutama; Sekjen BSNPG, Azhar Adam; dan sejumlah politisi muda AMPG DKI Jakarta. {golkarpedia}







