Jakarta, rakyatmenilak.com– Jakarta yang gaduh kini menyimpan satu suara bening dari ruang Komisi IX DPR RI. Di sana, di tengah formalitas Senayan yang kaku, suara lantang Ranny Fahd Arafiq memecah kebekuan. Ia bukan sekadar anggota dewan. Hari itu, ia menjadi juru bicara kegelisahan kolektif jutaan rakyat yang pernah merasa tak diperlakukan sebagai manusia di ranjang rumah sakit.
“Ini bukan soal prosedur, ini soal hati yang hilang dalam sistem kesehatan kita,” tegas Ranny, Sabtu (5/7/2025), dalam rapat pembahasan layanan kesehatan dan dugaan malpraktik yang kini kembali menyeruak ke permukaan.
Ranny melihat bahwa malpraktik bukan sekadar insiden teknis. Ia adalah gejala dari sistem yang terlalu lama hidup nyaman dalam birokrasi, lupa bahwa setiap pasien adalah manusia. Rumah sakit bukan sekadar tempat menyuntik dan mengukur tekanan darah. Ia adalah ruang suci antara harapan dan ketakutan. Tapi apa jadinya jika harapan itu berubah menjadi trauma?
“Laporan masyarakat tentang dugaan malpraktik bukan lagi kasus tunggal. Ini sudah sistemik. Dan kita harus bedah sistem ini!” seru Ranny. Suaranya tegas, tapi matanya menyiratkan luka yang dalam—luka kolektif masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada sistem.
Dalam pertemuan dengan IDI, IBI, dan PPNI, Ranny menegaskan pentingnya kejujuran sebagai titik awal perubahan. “Kalau forum resmi saja tak mampu jujur, bagaimana kita bisa berharap ada perbaikan? Diplomasi boleh, tapi jangan sampai keadilan ikut dikubur bersama sopan santun palsu.”
Bagi Ranny, kritik terhadap profesi tenaga kesehatan bukanlah bentuk kebencian. Justru sebaliknya, itu adalah ekspresi cinta. Evaluasi dan reformasi bukan penghukuman, tapi bentuk kasih sayang untuk mengembalikan marwah profesi yang agung.
“Kita ini bangsa besar. Tapi kenapa rakyat masih takut ke rumah sakit? Karena seringkali mereka merasa diperlakukan seperti ‘kasus’ bukan manusia. Ini soal etika yang remuk, bukan cuma soal prosedur yang macet,” katanya.
Ranny mendorong adanya roadmap etik yang konkret dan berpihak pada realitas di lapangan. Tapi, ia menekankan bahwa peta jalan itu harus disusun oleh mereka yang mengenal luka rakyat, bukan sekadar untuk menenangkan opini publik.
“Kalau kita hanya menambal yang rusak tanpa membongkarnya, berarti kita sedang melanggengkan kekeliruan. Saya memilih berdiri di sisi ketidaknyamanan ini bukan untuk mencela, tapi untuk menyembuhkan,” pungkas politisi Fraksi Partai Golkar itu.
“Laporan masyarakat tentang dugaan malpraktik bukan lagi kasus tunggal. Ini sudah sistemik. Dan kita harus bedah sistem ini!”
“Evaluasi tenaga kesehatan bukan penghukuman. Itu bentuk cinta. Karena hanya mereka yang peduli yang berani menggugat.”
Ranny telah menyalakan api kecil di tengah gelapnya birokrasi layanan kesehatan. Tapi api itu butuh tiupan keberanian dari semua pihak. Karena pada akhirnya, di balik setiap stetoskop, hanya satu hal yang tak boleh dilupakan: nyawa manusia.