Skema Washington Terulang: Hoaks Senjata Pemusnah Massal Saddam Hussein, Kini Presiden Maduro Dituding Gembong Narkoba dengan Hadiah Rp815 Miliar

Washington Diceramahi Rusia Soal Standar Ganda, Aksi Buru Maduro Dinilai Mengulang Sejarah Invasi Irak

Berita158 Views

‌WASHINGTON DC, RakyatMenilai.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, kembali menuai kontroversi setelah menaikkan hadiah uang untuk penangkapan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro. Hadiah tersebut kini mencapai angka fantastis, yaitu US$ 50 juta atau sekitar Rp 815 miliar. Washington menuduh Maduro adalah seorang gembong narkoba, namun tuduhan ini tak ayal mengingatkan publik pada kebohongan besar yang pernah dilontarkan AS dua dekade silam.

​Pengumuman penambahan imbalan untuk penangkapan Maduro disampaikan oleh Jaksa Agung AS, Pam Bondi, dalam pernyataan video yang diposting ke media sosial pada Jumat (8/8/2025). Bondi menegaskan bahwa Maduro adalah “salah satu pengedar narkoba terbesar di dunia dan merupakan ancaman bagi keamanan nasional kita.”

​Imbalan yang ditawarkan ini bertambah dua kali lipat dibandingkan dengan tawaran sebelumnya yang sebesar US$ 25 juta pada Januari lalu. Namun, otoritas Venezuela merespons tawaran ini sebagai hal yang “menyedihkan” dan “konyol”, mengingat AS tidak pernah mengakui kemenangan Maduro dalam dua pemilu sebelumnya.

​Situasi ini memicu kembali ingatan kolektif masyarakat internasional terhadap peristiwa tahun 2003. Saat itu, AS di bawah kepemimpinan George W. Bush menginvasi Irak dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Tuduhan yang belakangan terbukti sebagai hoaks.

​Dalih invasi itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS saat itu, Colin Powell, dalam pidatonya di Dewan Keamanan PBB. Untuk mendukung klaim palsunya, Powell memamerkan sebotol kecil bubuk putih yang ia sebut sebagai bukti antraks, lalu menyatakan bahwa AS tidak punya pilihan selain berperang.

​Faktanya, hingga saat ini tidak ada satu pun senjata pemusnah massal yang pernah ditemukan di Irak. Ironisnya, para pemimpin negara-negara agresor saat itu, termasuk George W. Bush dan Tony Blair, tidak pernah dituntut secara hukum atau diberi sanksi.

​Momen 20 tahun invasi AS ke Irak ini menjadi kesempatan bagi para politisi Rusia untuk mencerca Washington. Ketua Duma Negara (Parlemen) Rusia Vyacheslav Volodin mendesak PBB membuka penyelidikan atas apa yang ia sebut sebagai kejahatan Washington terhadap kemanusiaan di Irak.

​Dalam postingan di Telegram, Volodin memberikan kritik pedas terhadap “kekaisaran kebohongan” Amerika. “Tanggal ini menandai salah satu penipuan terbesar komunitas global oleh Amerika Serikat,” tulisnya. Volodin juga menggarisbawahi bahwa DK PBB tidak pernah menyetujui invasi tersebut, namun AS dan sekutunya nekat menyerang.

​”Setengah juta warga sipil menjadi korban, presiden dieksekusi, negara hilang,” tulis Volodin, mempertanyakan mengapa Washington tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Ia menambahkan, “Semua kebijakan Amerika Serikat dan kolektif Barat didasarkan pada kebohongan.”

​Kritik serupa juga datang dari Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, yang mengatakan AS seharusnya tidak berharap dunia melupakan invasi Irak atas tuduhan palsu.

​Ryabkov menyebut aksi Powell di PBB telah lama menjadi simbol kemunafikan dan keyakinan elite penguasa AS atas impunitasnya sendiri. “Itu juga merupakan simbol dari kesediaan Washington untuk menggunakan kekuatan melawan lawan yang jelas lebih lemah untuk mempertahankan hegemoni globalnya sendiri,” lanjut Ryabkov.

​Diplomat tersebut bersugesti bahwa dalam lanskap geopolitik yang berubah dengan cepat, AS tidak bisa lagi bertindak sebagai “bandit internasional” semaunya. Ia mencontohkan, kemunduran AS di Afghanistan pada tahun 2021 menunjukkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi serius.

​Ryabkov menyimpulkan bahwa AS harus beradaptasi dengan tatanan dunia multilateral yang lebih adil dan menyingkirkan “sindrom impunitas” yang telah terwujud jelas dalam sejarah mereka. “AS seharusnya tidak menghargai harapan apa pun bahwa kenangan tentang apa yang terjadi 20 tahun lalu akan terkubur dalam pasir sejarah modern yang bergeser,” pungkasnya.