Jakarta, rakyat menilai – Politisi senior Partai Golkar yang juga Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menyoroti polemik 3,5 juta hektare lahan sawit ilegal yang berada di kawasan hutan. Menurutnya, masalah ini bukan sekadar pelanggaran hukum oleh pengusaha, melainkan buntut dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang kurang matang.
Firman menegaskan, pemahaman terhadap historis persoalan ini sangat penting agar tidak ada pihak yang dikorbankan secara sepihak. Ia mencontohkan, saat Indonesia merumuskan UU Cipta Kerja, pemerintah berambisi meningkatkan daya saing investasi pasca-pandemi COVID-19. Namun, di balik itu, muncul fakta bahwa ada jutaan hektare lahan sawit yang dianggap ilegal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kan tidak bisa seperti itu dilepas begitu saja! Faktanya, kita sudah memungut pajak dari mereka, menerima dana ekspor sawit. Artinya, negara juga sudah mendapat manfaat! Akhirnya kita carikan solusi dengan pemutihan lahan yang ketelanjuran,” ujar Firman Soebagyo kepada redaksi Golkarpedia, Rabu (26/3).
Pemutihan Sawit: Solusi atau Polemik Baru?
Firman menjelaskan bahwa pemutihan lahan ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi petani kecil yang terjebak dalam kebijakan inkonsisten pemerintah. Namun, proses ini bukan tanpa syarat. DPR telah menyisir data dan menemukan tiga kelompok pemilik lahan sawit ilegal.
Kelompok pertama adalah petani kecil yang mendapat program transmigrasi di era Presiden Soeharto. Namun, setelah reformasi, lahan mereka telantar dan dianggap ilegal karena tak memiliki izin lengkap. “Ini yang harus kita putihkan. Mereka petani, bukan pengusaha besar,” tegas Firman.
Namun, ada kelompok lain yang justru ingin memanfaatkan kebijakan ini untuk kepentingan pribadi. “Ketika itu ada yang punya lahan 100 hektare meminta pemutihan. Kami nggak mau! Itu bukan petani lagi, itu pengusaha!” kata Firman dengan nada tegas.
Sebagai jalan tengah, DPR akhirnya menyepakati batas kepemilikan lahan petani maksimal 5 hektare. Jika lebih dari itu, pemilik akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
“Ini Kesalahan Pemerintah Dulu, Kok Bisa?”
Firman kemudian mengungkap kelompok kedua yang juga menjadi korban regulasi yang tumpang tindih. Mereka adalah pelaku usaha yang sudah mengurus izin, tapi tiba-tiba lahannya diklaim sebagai kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan di era Zulkifli Hasan.
“Lahan mereka tiba-tiba ditetapkan masuk kawasan hutan. Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu kena SK. Padahal mereka sudah urus izin! Ini kan bukan kesalahan pengusaha, tapi akibat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah,” paparnya.
Karena itu, Firman menilai tidak adil jika kelompok ini langsung dikenakan sanksi berat. Sebagai solusi, mereka diberikan pengampunan dengan sanksi denda sebagai bentuk kompensasi.
Lalu ada kelompok ketiga, yakni pengusaha sawit yang dengan sengaja menanam di kawasan hutan tanpa izin sama sekali. Firman menegaskan, kelompok ini harus mendapat hukuman berat. “Mereka tahu itu kawasan hutan, tapi tetap memaksa menanam. Nah, ini harus dikenakan sanksi seberat-beratnya! Harus didenda, dan setelah dua siklus panen, lahan wajib dikembalikan ke negara,” tandasnya.
Pemerintahan Presiden Prabowo Turun Tangan!
Firman Soebagyo, yang juga Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, menilai bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah mulai mengambil langkah konkret dengan membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Namun, ada satu hal yang membuatnya khawatir. “Sayangnya, Satgas ini lebih fokus ke penindakan hukum. Padahal, banyak pelaku usaha yang sebenarnya hanya korban kebijakan yang berubah-ubah. Kalau mereka semua ditindak tanpa mediasi, maka dampaknya bisa besar terhadap ekonomi,” ujarnya.
Firman pun mendesak Kementerian Pertanian (Kementan) agar tidak hanya mengurusi beras, tetapi juga memediasi persoalan sawit. “Coba dong Kementan jangan cuma fokus ke beras! Sawit ini juga penyumbang devisa negara yang besar! Kalau terus ditekan tanpa solusi, kita kehilangan sumber pendapatan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pelaku usaha sawit kini merasa ketakutan karena terus dipanggil aparat penegak hukum. “Investasi jadi tidak punya kepastian hukum. Ujungnya, tujuan UU Cipta Kerja tidak tercapai,” katanya.
Produksi Sawit Turun, Penerimaan Negara Terancam?
Apa yang dikhawatirkan Firman mulai menjadi kenyataan. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) terus menurun.
- Produksi CPO pada Desember 2024 turun menjadi 3,87 juta ton, anjlok 10,55% dibandingkan November 2024 yang mencapai 4,33 juta ton.
- Produksi PKO juga turun dari 412 ribu ton di November menjadi 361 ribu ton di Desember.
- Ekspor sawit pada Desember 2024 hanya mencapai 2,06 juta ton, turun 21,88% dari bulan sebelumnya.
Nilai ekspor sawit Indonesia juga anjlok menjadi USD 27,76 miliar (Rp 440 triliun), lebih rendah 8,44% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika tren ini berlanjut, dampaknya bisa sangat serius terhadap penerimaan negara.
“Kalau fokusnya hanya penindakan tanpa penyelesaian administratif, jangan heran kalau ekspor sawit kita anjlok terus! Pemerintah harus hati-hati, jangan sampai justru merusak industri strategis kita sendiri,” pungkas Firman Soebagyo.
Sumber: golkarpedia







