TNI-POLRI MASUK KE LEMBAGA SIPIL: ORDE BARU DI ERA GEN-Z?

Supremasi sipil adalah jantung demokrasi. Kalau tak dijaga, Indonesia hanya akan mewarisi bayang-bayang Orde Baru dalam wajah baru yang lebih licin dan minim dialog.

Opini263 Views

Jakarta, rakyatmenilai.com |Dalam wawancara khusus dengan rakyatmenilai.com, Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional, Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, mengkritik tajam langkah pemerintah dan DPR yang membuka kembali ruang kekuasaan bagi militer dan kepolisian aktif di jabatan sipil. Ia menyebutnya sebagai “kemunduran reformasi nasional” dan menyamakan situasi ini dengan bayang-bayang dwifungsi ABRI ala Orde Baru, hanya saja kini terjadi di era Gen-Z.

“Kalau tentara dan polisi aktif duduk di lembaga sipil, apa bedanya kita dengan Orde Baru?” tegas Prof. Yuddy, merujuk pada revisi UU TNI yang telah disahkan pada 20 Maret 2025 dan wacana revisi UU Polri yang semakin santer.

Menurutnya, pembiaran terhadap puluhan perwira polisi aktif yang menjabat di kementerian dan lembaga sipil secara nyata bertentangan dengan UU Kepolisian. Bahkan, surat telegram Kapolri yang mengatur penempatan itu dianggap sebagai sinyal yang memperlihatkan makin kaburnya batas antara ranah keamanan dan birokrasi sipil.

Lebih jauh, Prof. Yuddy memaparkan bahwa semangat reformasi internal ABRI pada 1998—yang memisahkan TNI dan Polri, serta menarik militer dari panggung politik praktis—seharusnya menjadi fondasi tak terganggu oleh kepentingan sesaat.

“Pemerintah dan DPR seharusnya fokus memperkuat supremasi sipil, bukan malah melegalisasi praktik-praktik yang justru membawa kita mundur ke masa kelam,” ujar mantan Menteri PAN-RB ini.

Dalam paparannya, ia mengingatkan bahwa supremasi sipil bukan sekadar slogan, melainkan prinsip utama negara demokrasi yang menjamin keseimbangan antara kekuasaan dan partisipasi rakyat. Contoh-contoh negara seperti Belanda, Jepang, Georgia, hingga Singapura ia angkat sebagai cermin keberhasilan tata kelola kepolisian yang bersih, transparan, dan profesional.

Prof. Yuddy pun menyayangkan rendahnya skor indeks kepercayaan publik terhadap Kepolisian RI yang bahkan tertinggal dari Vietnam dan Malaysia. Ia menegaskan bahwa reformasi Polri harus menjadi prioritas nasional, bukan revisi UU yang justru memperlebar ruang intervensi politik dalam tubuh kepolisian.

Dalam pemaparannya, ia mengajukan empat agenda reformasi Polri: Struktural, Kultural, Personalia, dan Pendidikan. Menurutnya, penempatan polisi di luar lembaga tanpa alih status, praktik suap dalam promosi jabatan, serta keterlibatan dalam politik praktis adalah masalah serius yang harus dibenahi.

“Kalau sistem pendidikan, rekrutmen, promosi jabatan, dan pengawasan eksternal Polri tak dibenahi, yang tersisa hanyalah aparat pemburu pangkat, jabatan dan kekayaan,” tegasnya.

Prof. Yuddy menutup wawancara dengan harapan munculnya political will dari Presiden RI untuk memulai reformasi Polri secara menyeluruh dan menyelamatkan demokrasi dari ancaman militerisme gaya baru.


📌 Catatan Redaksi: Artikel ini disusun dari naskah orisinal Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi berjudul “Catatan Kritis untuk Supremasi Sipil dan Reformasi Polri”, yang disampaikan dalam dialog publik memperingati Hari Bhayangkara ke-79. Kami menyusun ulang dalam bentuk wawancara naratif agar lebih mudah dipahami pembaca umum, tanpa mengurangi substansi isi.


sumber: golkarpedia