Penunjukan Siti Zahra Aghnia sebagai komisaris independen di PT Pertamina Patra Niaga tak sekadar menambah satu nama baru dalam jajaran pengawas subholding energi milik negara. Ia membuka kembali perdebatan lama tentang relasi kuasa, konflik kepentingan, dan praktik bagi-bagi jabatan di tubuh BUMN strategis, khususnya sektor energi yang sarat kepentingan politik dan ekonomi.
Siti Zahra Aghnia dikenal publik sebagai istri Muhammad Arief Rosyid Hasan, mantan Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo–Gibran. Sebelumnya ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Milenial Tim Kemenangan Nasional (TKN), organisasi pendukung Jokowi-Ma’ruf yang diketuai Erick Thohir.
Kini Arief Rosyid menjelma sebagai Wakil Ketua Umum DPP AMPI, organisasi sayap Partai Golkar, serta figur yang dalam banyak pemberitaan tampil sebagai loyalis dan pembela Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Relasi ini menjadi sorotan karena Bahlil, sebagai Menteri ESDM, memiliki posisi strategis dalam ekosistem kebijakan energi nasional, termasuk BUMN di bawah holding Pertamina. Apalagi saat ini tidak ada Kementerian BUMN. Sehingga Pertamina serta anak perusahaannya sedikit banyak berada di bawah supervisi Kementerian ESDM. Rasanya, sulit untuk memisahkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa dari persoalan ini.
Penunjukan Siti Zahra sebagai komisaris independen Patra Niaga ditetapkan melalui Keputusan Pemegang Saham Secara Sirkuler pada Februari 2024. Menariknya, pengangkatan tersebut bukan untuk menggantikan komisaris independen lain, melainkan menambah jumlah komisaris independen yang sebelumnya hanya diisi oleh satu nama.
Di tengah Patra Niaga yang sedang terseret kasus korupsi minyak dan BBM periode 2018-2023, publik justru mempertanyakan urgensi dan rasionalitas penambahan posisi tersebut.
Secara latar belakang, Siti Zahra Aghnia lahir pada 18 Juni 1991 dan merupakan lulusan Arsitektur Interior Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Latar belakang yang jauh dari kebutuhan kerja di sektor tata kelola energi seperti saat ini. Meski demikian, riwayat profesional yang tercantum di situs resmi perusahaan menunjukkan ia pernah menjabat komisaris di sejumlah perusahaan swasta serta aktif di yayasan dan lembaga pengembangan kepemudaan.
Namun, rekam jejak tersebut tetap memunculkan tanda tanya besar ketika dikaitkan dengan fungsi pengawasan di BUMN sektor energi, sebuah bidang yang menuntut pemahaman teknis, tata kelola, serta mitigasi risiko tinggi.
Isu konflik kepentingan makin mengemuka, tatkala posisi Arief Rosyid sebagai elite organisasi sayap partai, loyalis menteri teknis, sekaligus figur politik nasional, beririsan langsung dengan penunjukan istrinya di BUMN strategis. Relasi personal, politik, dan kekuasaan seolah bertemu dalam satu simpul yang sulit diabaikan.
Dampak Dari Konflik Kepentingan di BUMN
Dikutip dari pemberitaan Detikcom yang berjudul, “Timses Dahulu, Komisaris Kemudian” diterbitkan pada 7 Maret 2024, Pengamat politik Yoes C Kenawas, kandidat doktor Northwestern University yang meneliti politik dinasti di Indonesia, menilai praktik distribusi jabatan kepada pendukung politik telah menjadi pola yang diwariskan lintas rezim. Menurutnya, fenomena tersebut semakin tampak terang-terangan dalam beberapa tahun terakhir, tanpa pertimbangan serius terhadap kapasitas dan kompetensi individu yang ditunjuk.
“Bagi-bagi kursi jabatan BUMN sudah jadi semacam kebiasaan dan dilakukan juga oleh presiden-presiden sebelumnya, toh presiden punya prerogatif menunjuk pejabat BUMN. Namun, yang kelihatan banget, yang kentara, memang di era Presiden Jokowi,” ujarnya.
Lebih jauh, praktik ini disebut sebagai bentuk kartelisasi politik, yakni kerjasama elite untuk mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan sumber daya negara. Dalam konteks ini, jabatan komisaris BUMN menjadi alat distribusi loyalitas politik, bukan instrumen penguatan tata kelola.
Sementara itu, Ekonom dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Agustin, mengingatkan bahwa dampak paling serius dari praktik semacam ini adalah potensi kerugian negara. Ketika BUMN dipimpin atau diawasi oleh figur yang tidak diseleksi secara ketat, risiko salah kelola menjadi keniscayaan.
“Kalau BUMN itu tidak di-run dengan baik, yang rugi siapa? Pemerintah juga. Pemerintah harus injeksi dana, dana itu diambil dari APBN,” kata Esther. Ia menegaskan bahwa penunjukan komisaris seharusnya melalui mekanisme seleksi terbuka dan berbasis kompetensi, bukan kedekatan politik atau personal.
Dalam perspektif good corporate governance, posisi komisaris independen sejatinya menjadi benteng terakhir pengawasan, bukan sekadar simbol pemenuhan struktur organisasi. Ketika jabatan tersebut justru diisi melalui proses yang sarat relasi kekuasaan, independensi menjadi ilusi.
Kasus Siti Zahra Aghnia, Arief Rosyid Hasan, dan bayang-bayang kekuasaan Bahlil Lahadalia memperlihatkan satu persoalan mendasar: reformasi BUMN belum sepenuhnya mampu memutus praktik lama yang mengaburkan batas antara kepentingan negara dan kepentingan politik.
Selama konflik kepentingan dibiarkan samar dan penunjukan jabatan terus berlangsung tanpa transparansi, publik akan terus bertanya. Siapa sebenarnya yang diawasi, dan untuk kepentingan siapa BUMN dijalankan?







