Jakarta, Rakyat Menilai — Kejaksaan Agung menetapkan mantan Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang kini menjabat Komisaris Utama, Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kredit perbankan.
Penetapan ini disertai dengan penahanan dua nama lain, yaitu Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020 Zainuddin Mappa (ZM) dan pejabat PT Bank Jawa Barat Banten (BJBB) berinisial DS, yang saat itu menjabat sebagai Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial.
Ketiganya kini mendekam di Rutan Salemba, Jakarta, setelah penyidik Jampidsus menemukan bukti kuat dalam kasus ini.
Kredit dari Bank Pemerintah, Macet Rp3,58 Triliun
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyampaikan bahwa Sritex menerima kredit dari sejumlah bank milik negara dan daerah dengan total tagihan belum lunas hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun.
“Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan,” ujar Qohar, Rabu malam (21/5/2025).
Berikut rincian tagihan kredit macet yang didalami penyidik:
- Bank Jateng: Rp395,66 miliar
- Bank BJB, Bank Banten dan Jawa Barat: Rp543,98 miliar
- Bank DKI: Rp149,78 juta
- Bank Sindikasi (BNI, BRI, LPEI): Rp2,5 triliun
Selain dari bank-bank tersebut, Sritex juga tercatat mendapatkan pinjaman dari 20 bank swasta lainnya.
Kerugian Negara dan Penurunan Drastis Keuangan Sritex
Penyidik menemukan bahwa pada tahun 2020, Sritex masih mencetak laba Rp1,24 triliun, namun setahun kemudian, perusahaan mencatat kerugian hingga US$1,008 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun.
Laporan keuangan ini memperkuat dugaan bahwa ada penyalahgunaan dana yang signifikan.
“Inilah konsentrasi dari teman-teman penyidik,” tambah Qohar.
Dana Kredit Diduga Tidak Digunakan Sesuai Tujuan
Dalam proses penyelidikan, Kejaksaan menyebut bahwa dana pinjaman dari PT Bank DKI dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten tidak digunakan untuk modal kerja, seperti tujuan awal.
Sebaliknya, dana tersebut digunakan untuk membayar utang lama dan membeli aset non-produktif.
“Bahwa pada saat ISL selaku Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk mendapatkan dana… terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagai tujuan dari pemberian kredit… tetapi disalahgunakan,” ungkap Qohar tegas.
Peringkat Rendah, Prosedur Diabaikan
Fakta lainnya, Sritex saat itu hanya mendapatkan peringkat BB- dari lembaga pemeringkat Moody’s, yang mengindikasikan risiko gagal bayar tinggi. Sementara itu, aturan perbankan hanya membolehkan pemberian kredit tanpa jaminan untuk peminjam dengan peringkat A ke atas.
Namun, proses pemberian kredit tetap berjalan, bahkan tanpa analisa menyeluruh dan jaminan aset yang memadai.
“Kredit saat ini telah macet dalam kategori Kolektibilitas Lima,” tutup Qohar. Aset Sritex disebut tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara, dan tidak dapat dijadikan agunan.
sumber: CNBC Indonesia