Klaten, RakyatMenilai.com – Di tengah riuhnya narasi percepatan pembangunan dan efisiensi birokrasi, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, kembali menegaskan komitmen pemerintah terhadap prinsip kehati-hatian dalam penetapan tanah terlantar. Bukan main-main, proses yang memakan waktu hingga 587 hari ini seolah menjadi pesan subliminal: tak ada ruang bagi kebijakan “koboi” atau penetapan sembarangan, bahkan untuk lahan-lahan yang mangkrak sekalipun.
Pernyataan Nusron ini datang bak oase di tengah gurun skeptisisme yang kerap menerpa setiap kebijakan agraria.
Bagaimana tidak, dalam sebuah era yang menuntut serba cepat, langkah pemerintah untuk menertibkan tanah-tanah yang tak produktif justru membutuhkan rentang waktu yang hampir mencapai dua tahun kalender. Sebuah durasi yang bisa jadi menimbulkan decak kagum sekaligus pertanyaan di benak sebagian pihak.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 7 dan 9, sejatinya, hak atas tanah, baik Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Hak Guna Usaha (HGU), seharusnya sudah dimanfaatkan maksimal dalam kurun waktu dua tahun. Jika tidak, maka pintu bagi pemerintah untuk menetapkan tanah tersebut sebagai objek tanah terlantar terbuka lebar. Ini adalah sebuah klausul yang, di atas kertas, tampak tegas dan lugas.
Namun, sebagaimana diuraikan oleh Nusron, realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui, menjadikannya sebuah maraton birokrasi yang penuh dengan kehati-hatian. Seolah-olah, setiap inci lahan terlantar harus melewati “uji kelayakan” yang panjang sebelum akhirnya bisa dikembalikan ke pangkuan negara.
“Menurut PP tersebut proses menetapkan tanah terlantar butuh waktu. Pertama, ada tahap evaluasi, kedua, pemberitahuan,” kata Nusron Wahid, menjelaskan urutan proses yang tak bisa ditawar. Penjelasan ini seolah ingin meredam spekulasi bahwa pemerintah bertindak gegabah.
Tahap pemberitahuan saja, lanjut Nusron, sudah memakan waktu hingga 180 hari atau setengah tahun penuh. Sebuah durasi yang cukup untuk para pemilik lahan berpikir ulang, beralih profesi, atau bahkan berganti pandangan politik. Setelah itu, masih ada lagi Surat Peringatan (SP) satu yang diberikan dengan tenggat waktu sembilan bulan. Ini bukan sekadar peringatan biasa, melainkan sebuah jeda panjang yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pemilik lahan untuk berbenah.
Belum selesai sampai di situ. Proses masih berlanjut dengan pengiriman SP dua selama 60 hari, diikuti oleh SP lagi selama 45 hari. Total durasi ini menegaskan bahwa pemerintah tidak main-main dalam memberikan kesempatan. Ini bukan hanya soal menertibkan, melainkan juga sebuah pendidikan kesabaran bagi setiap pihak yang terlibat.
Melihat rangkaian proses yang begitu detail dan berlapis, pernyataan Nusron bahwa penetapan tanah terlantar dilakukan dengan penuh kehati-hatian memang patut dicermati. “Tahap-tahap dilalui sesuai prosedur tidak asal-asal secara sembrono dalam menetapkan tanah terlantar,” tegasnya, seolah ingin menutup celah bagi anggapan miring tentang kesewenang-wenangan.
Artinya, jika ada tanah yang pada akhirnya ditetapkan sebagai terlantar, itu bukan karena pemerintah lapar lahan atau gegabah, melainkan karena setiap opsi dan peringatan telah diberikan secara maksimal. Ini adalah bukti bahwa pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh figur seperti Nusron Wahid, lebih memilih jalur hukum dan prosedur yang panjang demi menghindari potensi konflik atau tudingan sembrono.
Lalu, pertanyaan berikutnya yang kerap muncul adalah: setelah status terlantar disematkan, ke mana tanah tersebut akan berlabuh? Nusron Wahid kembali memberikan pencerahan, yang juga sejalan dengan visi tentang optimalisasi aset negara dan sumber daya yang kini sering digaungkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia.
“Itu dikasih ke Bank Tanah. Oleh Bank Tanah digunakan sebagai tanah cadangan untuk negara yang bisa dipakai guna ketahanan pangan, energi dan hilirisasi serta lainnya. Intinya diserahkan kepada pemerintah untuk bisa dimanfaatkan,” pungkas Nusron Wahid, mengakhiri uraiannya.
Pengalihan ke Bank Tanah ini bukanlah sekadar formalitas. Ini adalah strategi cerdas untuk memastikan lahan-lahan yang dulunya mangkrak kini bisa dioptimalkan kembali untuk kepentingan rakyat banyak. Sebuah langkah nyata yang menunjukkan bahwa di balik birokrasi yang terkesan lamban, ada tujuan besar untuk menopang ketahanan nasional, baik dalam bidang pangan, energi, maupun industri hilirisasi, seperti yang juga menjadi fokus dalam sektor energi di bawah kepemimpinan Bahlil Lahadalia.
Jadi, ketika Anda mendengar tentang penetapan tanah terlantar, jangan buru-buru menyimpulkan. Di balik setiap keputusan, ada proses panjang dan melelahkan, sebuah dedikasi pada prosedur yang mungkin membuat pusing para spekulan, namun justru melindungi hak-hak yang lebih besar. Ini adalah cara pemerintah beraksi melalui figur-figur kuncinya: bukan dengan janji-janji manis, melainkan dengan ketelitian prosedural yang tak kenal lelah, memastikan setiap jengkal tanah kembali bermanfaat.







