RAKYATMENILAI.COM – Jakarta – Dinamika geopolitik global semakin didominasi oleh “perang digital”, di mana data menjadi aset paling strategis. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, secara tegas menyoroti kondisi ini.
Perhatian utamanya terkait isu negosiasi Presiden AS Donald Trump yang sebelumnya disebut-sebut meminta data pengguna aplikasi TikTok di Amerika Serikat ditukar dengan janji tidak menaikkan tarif impor dari Tiongkok.
Kini, Meutya Hafid memberikan penjelasan komprehensif mengenai negosiasi tarif resiprokal antara Amerika Serikat dan Indonesia. Penjelasan ini fokus pada kekhawatiran publik seputar data pribadi dalam kesepakatan tersebut.
Meutya Hafid mengungkapkan bahwa isu “perang digital” ini ia dengar langsung saat kunjungannya ke Washington DC beberapa waktu lalu. Menurutnya, konflik ini bukan sekadar tentang aplikasi semata.
Ia melihatnya sebagai indikasi dari perebutan hegemoni digital dan ekonomi yang lebih besar. “Ini digital war, perang siber. Kalau dulu perang darat, perang laut, perang udara, sekarang perang siber,” tegasnya.
Menteri Meutya menekankan bahwa di era digital saat ini, data adalah aset paling berharga. “Data ini adalah new oil. Negara yang menguasai data, akan menguasai dunia,” jelasnya.
Ia menggambarkan betapa strategisnya penguasaan data di mata negara-negara adidaya, seraya menambahkan: “Jadi upaya melarang TikTok itu bukan semata-mata melarang, tapi itu upaya menguasai data.”
Fenomena di mana Donald Trump menawarkan pertukaran data dengan tarif impor, bagi Meutya Hafid, adalah bukti konkret betapa berharganya sebuah data. “Ini trade-off yang sangat menarik. Bagaimana harga data itu sangat mahal, sampai ditukar dengan tarif,” ujarnya.
Menanggapi kekhawatiran publik terkait potensi penyerahan data pribadi dalam kesepakatan bilateral, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menjelaskan bahwa kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang diumumkan oleh Gedung Putih pada 22 Juli 2025, bukanlah bentuk penyerahan data pribadi secara bebas.
“Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital [Kemkomdigi] menegaskan bahwa finalisasi kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 22 Juli 2025 oleh Gedung Putih bukanlah bentuk penyerahan data pribadi secara bebas, melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara,” jelas Meutya dalam keterangan resmi yang dikutip pada Kamis (24/7/2025).
Meutya mengatakan bahwa kesepakatan ini justru dirancang untuk menjadi dasar legal yang kuat bagi perlindungan data pribadi warga negara Indonesia ketika menggunakan layanan digital yang disediakan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat.
Layanan tersebut mencakup mesin pencari, media sosial, layanan cloud, dan e-commerce. Prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, pelindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional.
“Kesepakatan yang dimaksud justru dapat menjadi dasar legal bagi perlindungan data pribadi warga negara Indonesia ketika menggunakan layanan digital yang disediakan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat… Prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, pelindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional,” jelas Meutya.
Ia menambahkan, “Mengutip pernyataan Gedung Putih bahwa hal ini dilakukan dengan kondisi ‘… adequate data protection under Indonesia’s law.’,” dia menambahkan.
Menteri Komunikasi dan Digital tersebut juga menyatakan bahwa pemindahan data pribadi lintas negara secara prinsip diperbolehkan. Syaratnya, harus dilakukan dengan kepentingan yang sah, terbatas, dan dapat dibenarkan secara hukum.
Contoh konkret dari aktivitas pemindahan data yang sah antara lain penggunaan mesin pencari (seperti Google dan Bing), penyimpanan data melalui layanan cloud computing, komunikasi digital melalui platform media sosial (seperti WhatsApp, Facebook, dan Instagram), pemrosesan transaksi melalui platform e-commerce, serta keperluan riset dan inovasi digital.
Meutya menegaskan bahwa pengaliran data antarnegara ini akan dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia.
Prosesnya akan mengikuti prinsip kehati-hatian, dan berdasarkan ketentuan hukum nasional yang berlaku.
Landasan hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) serta Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kedua aturan ini secara eksplisit mengatur mekanisme dan prasyarat pengiriman data pribadi ke luar yurisdiksi Indonesia.
Dia memastikan bahwa transfer data yang dilakukan ke AS tidak akan dilakukan sembarangan, dan tidak ada hak warga negara yang akan dikorbankan.
Pengaliran data antarnegara, tambahnya, merupakan praktik global yang lazim diterapkan. Khususnya untuk konteks tata kelola data digital, mekanisme ini juga telah diterapkan di banyak negara, termasuk negara-negara anggota G7.
“Transfer data pribadi lintas negara pada prinsipnya ke depan adalah keniscayaan. Indonesia mengambil posisi sejajar dalam praktik tersebut, dengan tetap menempatkan pelindungan hukum nasional sebagai fondasi utama,” pungkasnya.
Melihat kondisi geopolitik digital ini, Indonesia harus mengambil pelajaran penting. Meutya Hafid mengingatkan agar Indonesia tidak sampai menjadi korban atau arena perebutan data antarnegara adidaya. Kedaulatan data harus tetap menjadi prioritas utama.
Pemerintah Indonesia sendiri telah berupaya menyiapkan payung hukum yang kuat untuk melindungi data, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Namun, UU PDP yang seharusnya sudah berlaku efektif pada Oktober 2024, sampai sekarang implementasinya masih molor. Hal ini karena pemerintah belum juga membentuk lembaga data pribadi yang bertugas mengawasi pelaksanaannya.
Meutya Hafid, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi I DPR RI periode 2019-2024 sebelumnya, adalah salah satu figur kunci dalam perumusan UU tersebut.
Menteri Komunikasi dan Digital itu juga mendesak pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur digital di seluruh pelosok negeri, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang unggul di bidang teknologi informasi.
Yang tak kalah penting, menurutnya, adalah Indonesia harus memiliki platform digital sendiri yang kuat dan mampu bersaing di kancah global.
“Jangan hanya strategi ekonomi, tapi kita harus punya strategi digital juga,” pungkas Meutya Hafid, menegaskan bahwa masa depan Indonesia sangat bergantung pada kesiapan dalam menghadapi tantangan dan peluang di era digital ini.







