Jakarta, rakyatmenilai.com —Ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menambahkan tarif impor 10% bagi negara-negara yang dianggap “berpihak pada BRICS” langsung mengguncang peta geopolitik dan ekonomi global. Tak terkecuali Indonesia, yang disebut secara eksplisit sebagai salah satu negara yang terkena imbasnya.
Lewat platform Truth Social, Trump menyatakan:
“Any Country aligning themselves with the Anti-American policies of BRICS, will be charged an ADDITIONAL 10% Tariff. There will be no exceptions to this policy.”
Kutipan ini menandai babak baru tekanan unilateral AS terhadap negara-negara berkembang.
Ancaman tersebut tak berhenti sebagai retorika digital. Dalam rapat kabinet dua hari kemudian (8 Juli 2025), Trump menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya mempertahankan kekuatan dolar AS yang ia nilai sedang didegradasi oleh proyek kerja sama BRICS.
Menurut Trump, BRICS bukan hanya forum ekonomi, tetapi alat strategis yang secara perlahan ingin mencopot dominasi dolar AS sebagai standar perdagangan global. Pernyataan ini memantik reaksi keras dari sejumlah pemimpin dunia.
“Seorang presiden dari negara sebesar AS mengancam dunia lewat internet, itu tidak pantas. Dunia telah berubah. Kami tidak butuh kaisar. Kami adalah negara-negara yang berdaulat. Jika ia merasa bisa mengenakan tarif pada negara lain, maka negara lain juga berhak melakukan hal yang sama.”
— Luiz Inácio Lula da Silva, Presiden Brasil (Reuters, 7 Juli 2025)
Respons juga datang dari China.
“BRICS bukan blok konfrontasi dan tidak menargetkan negara mana pun. Terkait tarif AS, China sudah menyatakan posisinya beberapa kali bahwa perang dagang dan pegang tarif tidak akan menghasilkan pemenang dan [kebijakan] proteksionisme tidak akan membawakan hasil.”
— Mao Ning, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China (7 Juli 2025)
Pada level kebijakan, serangan Trump ini terjadi hanya sehari setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Brasil, yang memperkuat komitmen negara anggota terhadap inklusivitas, kerja sama global south, dan perlawanan terhadap unilateralisme.
BRICS kini beranggotakan lebih dari sepuluh negara termasuk Indonesia, dengan agenda memperkuat kerja sama perdagangan tanpa mendominasi negara lain. Namun posisi ini justru dianggap Trump sebagai bentuk “perlawanan terhadap Amerika”.
Akibatnya, pada 7 Juli 2025, Trump mengeluarkan surat resmi yang menetapkan tarif impor baru sebesar 32% khusus untuk Indonesia. Angka tersebut disebutnya masih bisa dinegosiasikan bila Indonesia bersedia lebih terbuka terhadap pasar AS.
Situasi ini langsung disikapi cepat oleh pemerintah Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin delegasi perundingan yang bertemu dengan Menteri Perdagangan AS dan pejabat tinggi Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) di Washington DC.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa negosiasi akan berlangsung intensif selama tiga minggu ke depan sebelum kebijakan tarif diberlakukan per 1 Agustus 2025.
“Kami sudah memiliki pemahaman yang sama dengan AS terkait progres perundingan. Kami akan mengoptimalkan waktu tiga minggu ke depan, untuk intensif merundingkan lebih lanjut dan menuntaskan perundingan tarif ini dengan prinsip yang saling menguntungkan,” ujar Airlangga (Antara, 10 Juli 2025).
Lebih jauh, Airlangga juga menyampaikan bahwa AS tertarik menjalin kerja sama di bidang critical minerals seperti nikel, kobalt, dan tembaga—komoditas vital yang dimiliki Indonesia dan menentukan rantai pasok teknologi global.
Langkah diplomatik ini memperlihatkan strategi Indonesia yang tidak reaktif, tetapi taktis dan penuh kalkulasi. Di tengah tekanan, Indonesia tetap membuka ruang dialog, tanpa melepaskan kedaulatannya dalam menjalin kerja sama multilateral seperti BRICS.
Pakar geopolitik menilai bahwa Trump menggunakan isu BRICS sebagai alat kampanye menjelang pemilu presiden AS, dan menjadikan negara-negara berkembang sebagai target ketegangan perdagangan baru.
Namun demikian, Indonesia menolak tunduk begitu saja. Komitmen terhadap kerja sama global tidak berarti mengabaikan hubungan dagang dengan AS. Justru lewat diplomasi yang dirancang matang, Indonesia kini berada dalam posisi untuk mengamankan dua kepentingan sekaligus: keberlanjutan BRICS dan hubungan strategis dengan AS.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa yang utama adalah kepentingan rakyat. Dan dalam hal ini, menjaga akses perdagangan bebas sekaligus menjaga kemandirian ekonomi adalah bentuk pengabdian pada republik.
Rakyat akan menilai, dan sejarah akan mencatat: Indonesia memilih berdiri, bukan tunduk.







