Tsibilisi, rakyat menilai — Georgia pernah menorehkan sejarah dalam reformasi kepolisian. Pada 2004, Presiden Mikheil Saakashvili mengambil langkah drastis dengan memecat 30.000 polisi yang dianggap terlibat korupsi. Keputusan ini sempat mengejutkan banyak pihak, tetapi akhirnya membuktikan efektivitasnya dalam membangun institusi kepolisian yang lebih bersih dan profesional.
Reformasi Radikal: Pecat Massal Polisi Korup
Setelah memimpin Revolusi Mawar 2004 dan terpilih sebagai presiden, Saakashvili langsung melakukan reformasi besar-besaran di berbagai sektor, terutama di kepolisian. Salah satu kebijakan utamanya adalah membubarkan Kementerian Keamanan Negara (MSS) dan mereorganisasi Kementerian Dalam Negeri (MIA).
Pada Juli 2004, sekitar 85 persen dari total aparat kepolisian—sekitar 30.000 orang—dipecat dalam sehari. Kebijakan ini diambil karena kepolisian Georgia saat itu lebih dikenal sebagai institusi korup daripada penjaga ketertiban.
“Pada dasarnya, kami memiliki salah satu kepolisian yang paling korup. Pemerintah tidak membayar mereka dengan layak, sehingga mereka mencari uang sendiri melalui suap dan pemerasan terhadap rakyat,” ujar Saakashvili dalam sebuah wawancara dengan NPR pada 2005.
Sebelum reformasi, survei pada 2003 menunjukkan hanya 2,3 persen warga Georgia yang memiliki pandangan positif terhadap polisi. Masyarakat tidak mempercayai aparat penegak hukum karena mereka justru menjadi pelaku utama pemerasan dan pungutan liar.
Upaya awal untuk menaikkan gaji polisi agar mengurangi korupsi ternyata tidak berhasil. Akhirnya, Saakashvili memilih jalan yang lebih ekstrem: memberhentikan seluruh polisi yang masih terlibat dalam praktik korupsi dan merekrut tenaga baru dengan standar yang lebih ketat.
Gaji Polisi Baru Naik 20 Kali Lipat
Dalam reformasi kepolisian ini, Saakashvili juga memberikan gaji yang jauh lebih layak bagi para polisi baru. Sebelumnya, gaji polisi di Georgia hanya berkisar USD30 hingga USD40 per bulan—dengan kurs saat ini, setara dengan Rp489.090 hingga Rp652.120. Setelah reformasi, gaji mereka meningkat hingga USD400 per bulan, sekitar Rp6.540.000.
“Kami ingin memastikan bahwa polisi memiliki penghasilan yang layak, sehingga mereka tidak tergoda untuk mencari uang dengan cara-cara kotor,” jelas Saakashvili.
Selain peningkatan gaji, pemerintah juga memberikan fasilitas yang lebih baik, termasuk seragam baru, kendaraan dinas yang modern, dan pelatihan akademi kepolisian yang disponsori oleh Amerika Serikat.
Hasilnya? Kejahatan Menurun Drastis!
Reformasi ini membawa dampak positif yang signifikan. Kejahatan dengan kekerasan turun 66 persen, sementara pencurian kendaraan yang sebelumnya marak hampir hilang sepenuhnya. Tingkat kejahatan secara keseluruhan turun lebih dari 50 persen, menjadikan Georgia salah satu negara teraman di dunia.
Bahkan, citra kepolisian yang dulunya buruk mulai membaik. Masyarakat yang sebelumnya takut berurusan dengan polisi kini merasa lebih aman dan percaya kepada aparat. Mereka bahkan mulai mengandalkan kepolisian untuk urusan sehari-hari, seperti kehilangan barang atau hewan peliharaan.
“Dalam merekrut kembali personel kepolisian, kami memilih kualitas daripada kuantitas. Jumlah pegawai Kementerian Dalam Negeri berkurang dari 56.000 menjadi 33.000,” ungkap Saakashvili dalam tulisannya di Foreign Policy.
Pelajaran dari Georgia
Keberhasilan Georgia dalam reformasi kepolisian membuktikan bahwa tindakan tegas terhadap aparatur yang korup, diiringi dengan perekrutan tenaga baru yang berintegritas serta pemberian gaji yang layak, dapat menciptakan perubahan signifikan.
Reformasi yang dilakukan di era Saakashvili kini menjadi contoh bagi banyak negara tentang bagaimana membangun sistem yang lebih bersih, transparan, dan terpercaya.
Apakah negara lain bisa meniru langkah Georgia?
Sumber: liputan 6, sindonews