Menu

Mode Gelap
Meutya Hafid Dukung Percepatan Penyelesaian RUU Penyiaran Hadapi Tantangan Digitalisasi Radio Terkait Isu Penerbitan Perppu MD3, Lodewijk Paulus Enggan Berspekulasi Jelang Pendaftaran Calon Kepala Daerah, Partai Golkar Bantul Gelar Rapat Konsolidasi Airlangga Hartarto Berduka Atas ‘Tewasnya’ Ismail Haniyeh, Minta Jangan Ada Lagi ‘Pembunuhan Politik’ Ingin Punya Pusat Penelitian Baterai EV di Morowali, Menko Luhut Kirim Mahasiswa Ke Tiongkok

Daerah · 5 Jan 2025 07:47 WIB ·

Bharatayuda dan Akhir Tragis Prabu Salya: ‘Yudistira Menang, Tapi Apa yang Hilang?’


 Bharatayuda dan Akhir Tragis Prabu Salya: ‘Yudistira Menang, Tapi Apa yang Hilang?’ Perbesar

Kisah Wayang, rakyat menilai– Prabu Salya, sosok raja Mandaraka yang melegenda dalam kisah pewayangan Jawa, adalah figur penuh warna. Kehidupan ksatria yang awalnya dikenal sebagai Narasoma ini dihiasi oleh perjalanan epik, mulai dari masa mudanya yang ambisius, kisah cintanya yang menegangkan, hingga akhir tragisnya di perang Bharatayuda. Bagaimana perjalanan Prabu Salya dari seorang pangeran muda menjadi raja yang bijaksana dan ksatria yang gugur dengan kehormatan?

Asal Usul: Narasoma, Putra Raja Mandaraka

Prabu Salya lahir dengan nama Narasoma, putra Prabu Mandrapati dan Dewi Tejawati dari Kerajaan Mandaraka. Sebagai pangeran muda, Narasoma dikenal gagah, ambisius, dan memiliki tekad kuat untuk membuktikan dirinya sebagai ksatria terkuat. Namun, sifatnya yang keras sering kali membuatnya terjebak dalam konflik batin.

Kisah Cinta yang Epik: Dewi Setyawati dan Sayembara Penuh Tantangan

Kisah cinta Narasoma dengan Dewi Setyawati adalah salah satu bagian paling terkenal dari perjalanan hidupnya. Ketika Dewi Setyawati, putri Raja Banjarjaya dari Madura, mengadakan sayembara, Narasoma tidak ragu untuk ikut serta.

Sayembara itu menuntut para pelamar untuk mengalahkan Gandasena, seorang raksasa kuat. Dengan keahlian bertarung yang luar biasa, Narasoma berhasil mengalahkan Gandasena dan memenangkan hati Dewi Setyawati. Namun, setelah pernikahan mereka, Narasoma diberi gelar “Salya,” yang berarti “duri” atau “rintangan,” melambangkan perjalanan hidupnya yang penuh ujian.

Menjadi Raja Bijaksana dan Pemimpin yang Dihormati

Setelah menggantikan ayahnya sebagai Raja Mandaraka, Salya tumbuh menjadi pemimpin yang dihormati. Sifat kerasnya perlahan berubah menjadi kebijaksanaan yang mendalam. Ia dikenal sebagai raja yang adil, berpegang teguh pada dharma, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Salya juga memiliki hubungan kekerabatan yang unik dengan Pandawa. Ia adalah kakak dari Dewi Madrim, ibu Nakula dan Sadewa. Hubungan ini sering kali membuat posisinya dilematis, terutama dalam perang Bharatayuda. Meski memiliki ikatan darah dengan Pandawa, Salya akhirnya berada di pihak Kurawa setelah dijebak oleh Duryodana. Pilihan ini membawa Salya ke medan perang, meski hatinya masih berpihak pada kebenaran.

Bagaimana Salya Dijebak Duryodana

Meski Salya memiliki hubungan darah dengan Pandawa, ia terpaksa berpihak kepada Kurawa akibat tipu muslihat Duryodana. Ketika Salya dalam perjalanan menuju perkemahan Pandawa untuk memberikan dukungan kepada mereka, Duryodana dengan cerdik mengatur strategi.

Duryodana memerintahkan pasukannya untuk mendirikan perkemahan mewah di sepanjang perjalanan Salya. Selama perjalanan, Salya dan pasukannya dilayani dengan sangat mewah, mulai dari jamuan makanan hingga hiburan terbaik. Salya, yang tidak mengetahui bahwa layanan ini berasal dari Kurawa, merasa berutang budi kepada tuan rumah yang dianggapnya Pandawa.

Setelah menikmati semua layanan itu, Salya dikejutkan oleh kedatangan Duryodana yang menuntut balas budi. Duryodana dengan tegas meminta Salya untuk bergabung di pihak Kurawa, karena semua jamuan mewah itu berasal darinya. Terikat oleh aturan moral yang melarang seorang ksatria mengingkari balas budi, Salya dengan berat hati menerima permintaan Duryodana, meskipun hatinya tetap berpihak pada Pandawa.

Peran Salya dalam Pertarungan Arjuna dan Karna

Ketika perang Bharatayuda mencapai puncaknya, Salya ditugaskan menjadi sais (kusir) kereta perang Karna. Penunjukan ini bukan tanpa alasan—keahlian Salya dalam mengemudi kereta perang adalah yang terbaik di antara para ksatria Kurawa.

Namun, Salya memiliki agenda tersembunyi. Meski berada di pihak Kurawa, ia tetap memegang prinsip dharma dan diam-diam mendukung Pandawa. Dalam duel antara Karna dan Arjuna, Salya sengaja memberikan arahan yang keliru kepada Karna, membuat serangannya tidak efektif.

Ketika Karna meminta Salya untuk mempercepat kereta perang agar unggul dari Arjuna, Salya dengan sengaja memperlambatnya. Selain itu, Salya kerap memberikan komentar sinis yang melemahkan semangat Karna. Strategi ini memberikan Arjuna keunggulan hingga akhirnya Karna gugur di medan perang.

Puncak Bharatayuda: Salya Menjadi Panglima Terakhir Kurawa

Setelah gugurnya Karna, Duryodana menunjuk Salya sebagai panglima perang terakhir Kurawa. Sebagai ksatria sejati, Salya menerima tugas itu meski hatinya penuh dilema. Sebelum menghadapi Yudistira, Salya menunjukkan sisi ksatria yang luar biasa dengan memberikan kelemahannya kepada Yudistira.

Ia mengungkap bahwa dirinya sulit dikalahkan kecuali jika emosinya terpancing. Salya juga memberi tahu bahwa tombak sakti milik Yudistira adalah satu-satunya senjata yang dapat mengalahkannya, asalkan diarahkan ke titik lemahnya.

Duel Terakhir: Salya Gugur dengan Kehormatan

Duel antara Prabu Salya dan Yudistira adalah salah satu momen paling dramatis dalam perang Bharatayuda. Salya bertarung dengan seluruh kekuatannya, menyerang tanpa henti. Namun, Yudistira menggunakan strategi yang cerdas. Ia memprovokasi Salya dengan kata-kata pedas, membuat sang raja Mandaraka kehilangan kendali.

Saat Salya lengah, Yudistira melancarkan serangan terakhir dengan tombak saktinya. Serangan itu tepat mengenai titik lemah Salya, membuatnya gugur di medan perang. Meski kalah, Salya meninggalkan pesan penting untuk Yudistira—bahwa kemenangan harus digunakan untuk menegakkan kebenaran dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Pesan dari Kehidupan Prabu Salya

Kisah Prabu Salya adalah refleksi dari perjalanan hidup yang penuh dilema dan pengorbanan. Dari seorang pangeran muda yang ambisius hingga raja bijaksana yang gugur sebagai ksatria, Salya mengajarkan bahwa integritas dan dharma harus selalu diutamakan, meski berada dalam situasi tersulit.

Momen saat Salya membantu Arjuna melawan Karna menegaskan bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah konflik moral. Gugurnya Salya menjadi pengingat bahwa seorang ksatria sejati tidak hanya bertarung dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kebijaksanaan dan moralitas.

Apakah pesan terakhir Salya kepada Yudistira masih relevan hingga kini? Bagaimana menurut Anda? (*)

 

Artikel ini telah dibaca 5 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Presiden Prabowo Mulai Program Makan Bergizi Gratis! Wong Solo Pasok 12 Ribu Porsi di Boyolali, Kok Bisa?

6 January 2025 - 21:17 WIB

Tiga Anak Werkudara dan Kesaktian Mereka: Gatotkaca, Antareja, atau Antasena, Siapa Paling Kuat?

29 December 2024 - 21:30 WIB

Ratu Tatu Apresiasi KKN Mahasiswa UGM: ‘Bantu Serang Lebih Baik, dari Sampah hingga Ekonomi!

29 December 2024 - 12:09 WIB

Tegas! Pilar Saga Ichsan: ‘Kendaraan Dinas Bukan untuk Liburan Nataru, ASN Harus Patuhi Aturan!

26 December 2024 - 17:49 WIB

Bahlil Lahadalia hingga Aburizal Bakrie Saksikan Andi Achmad Dara Dikukuhkan Jadi Datuak di Nagari Koto Gadang!

19 December 2024 - 07:42 WIB

UMP Kepri Naik 6,5 Persen Jadi Rp 3,623 Juta, Gubernur Ansar: Semoga Diterima Semua Pihak

13 December 2024 - 07:53 WIB

Trending di Daerah