Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritik pernyataan hakim konstitusi Arief Hidayat yang mewacanakan sistem pemilihan umum (pemilu) hybrid. Menurutnya, pernyataan itu tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi hakim konstitusi, yakni untuk menguji konstitusionalitas norma.
“Tugas MK itu adalah memutus apakah norma yang sedang diuji itu apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Atau dengan kata lain, menguji konstitusionalitas suatu norma. Maka mestinya yang disikapi adalah apakah permohonan agar sistem Pemilu diubah dari terbuka menjadi tertutup itu sesuai dengan Konstitusi (UUD NRI 1945) atau tidak?” ujar Hidayat dalam keterangannya, Senin (10/4/2023).
“Bukan malah membuat wacana sistem yang tidak ditanyakan yaitu hybrid dengan mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon presiden dan anggota DPD, dan tertutup untuk pemilu legislatif. Sesuatu hal yang juga sudah dilaksanakan pada pemilu tahun 2004, yang oleh MK diubah menjadi semuanya dengan sistem terbuka sejak pemilu tahun 2009 hingga 2019,” sambungnya.
Terkait sistem mana yang lebih baik, pria yang akrab disapa HNW itu menyebut hal itu sebaiknya diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang sebagai wujud dari open legal policy yang biasanya menjadi pegangan dasar sikap MK.
“Jadi, MK sebaiknya cukup menegaskan bahwa sistem pemilu terbuka yang berlaku saat ini bagaimana dari segi konstitusionalitasnya. Bukan justru mengusulkan sistem yang lain, yang tidak diusulkan oleh para pemohon,” imbuhnya.
HNW menjelaskan apabila MK konsisten dengan putusannya pada tahun 2008 yang lalu, maka sudah selayaknya permohonan pengujian sistem pemilu terbuka ini ditolak. Pasalnya sejak awal, MK justru menyatakan sistem pemilu terbuka yang lebih sejalan dengan ketentuan UUD NRI 1945.
HNW pun menegaskan upaya memperbaiki sistem pemilu dengan metode hybrid sebaiknya diserahkan kepada lembaga pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR dan pemerintah.
“Misalnya, ada usulan hybrid dengan suara caleg yang mencapai suara 30% maka ditetapkan sebagai caleg terpilih. Namun, apabila suara partai yang mencapai 30% ke atas, maka partai yang menentukan caleg terpilih,” ujarnya.
HNW menuturkan model-model dengan sistem hybrid membutuhkan kajian dan diskusi yang mendalam. Karenanya, proses revisi UU Pemilu di DPR menjadi forum yang tepat untuk mendiskusikan hal tersebut.
“Jadi, bukan persidangan di MK untuk forum mendiskusikan hal tersebut. Karena ini bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Forum yang tepat untuk mendiskusikannya adalah di DPR, bersama dengan Pemerintah dengan melibatkan publik dan mengundang banyak pakar,” tegasnya.
HNW pun berharap MK dapat fokus pada tugasnya untuk mengadili permohonan sistem pemilu terbuka yang saat ini sedang dimohonkan.
“Maka agar tidak melebar ke mana-mana. MK sebaiknya segera memutus menolak permohonan itu, karena sistem pemilu terbuka yang merupakan produk keputusan MK sendiri yg bersifat final dan mengikat itu, tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945,” ucapnya.
“Namun, apabila dalam persidangan ada perkembangan mengarah ke sistem hybrid, biarkan lah itu menjadi menjadi bagian dari open legal policy yang pembahasannya berada di ranah DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang,” lanjut HNW.
Ia juga berpesan kepada MK untuk konsisten dalam memeriksa legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam perkara tersebut. Sebab dalam berbagai peristiwa judicial review perkara lain, MK sangat teliti memperhatikan permasalahan legal standing dari si pemohon.
HNW pun mengingatkan yang menjadi pemohon dalam perkara sistem pemilu ini adalah perorangan, bukan partai politik. Padahal, Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan.
“Berdasarkan argumentasi ini, sudah seharusnya, MK menyatakan bahwa permohonan uji materi ini tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (putusan NO) karena pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini,” paparnya.
“Memang ada partai yang mendukung sistem pemilu tertutup, tapi malah tidak ikut mengajukan permohonan judicial review. Sementara 8 dari 9 Partai peserta Pemilu yang lolos ke Parlemen (mayoritas mutlak) justru menolak perubahan kembali ke sistem tertutup, dan mengusulkan agar Pemilu 2024 tetap dengan sistem terbuka,” pungkas HNW.
Silhkan baca arikel sumber klik disini