Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Supriansa, menyebut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) baru bisa dikatakan sebagai tindak pidana jika sudah disimpulkan penyidik.
Dengan demikian, penyampaian TPPU oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK) maupun Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) tidak bisa disebut sebagai tindak pidana.
1. Menurut pakar, TPPU harus disimpulkan penyidik
Supriansa mengatakan, hal tersebut merupakan pendapat dari para pakar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III dengan Pakar Hukum Yunus Husein, dan Pakar Hukum TPPU Yenti Garnasih.
“Kalau kita mengacu dari penjelasan pakar di dalam dengan yang disampaikan oleh mantan Kepala PPATK, maka bisa disimpulkan bahwa TPPU itu jika sudah disimpulkan oleh penyidik. Kalau baru disampaikan oleh Kepala PPATK misalnya, maka itu belum dikatakan hasil kesimpulan yang bisa dijadikan sebagai kategori terjadi tindak pidana pencucian uang, kalau mengacu dari diskusi ini,” ujar Supriansa, Jumat (7/4/2023).
2. Perlu tindak pidana asal
Lebih lanjut, ungkap Supriansa, berdasarkan paparan pakar Yenti Ganarsih, bahwa TPPU harus jelas tindak pidana asalnya baru bisa disebut sebagai TPPU.
“Ada hal yang menarik bagi saya karena terjadi tentu perbedaan. Kalau kemarin-kemarin, PPATK (Pak Ivan) menyatakan bahwa dengan tegas menyatakan bahwa Rp349 triliun itu adalah TPPU. Nah, kemudian harus dibuktikan menurut Ibu Doktor Yenti tadi menyampaikan bahwa ini harus jelas tindak pidana asalnya,” tutur Supriansa.
3. PPATK sebut Rp349 triliun merupakan TPPU
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana memastikan, transaksi keuangan mencurigakan merupakan TPPU. Hal itu ditegaskan Ivan ketika menjawab pertanyaan tentang transaksi senilai Rp300 triliun, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI DPR.
Belakangan, nilai transaksi mencurigakan yang dilaporkan PPATK ke Kementerian Keuangan itu bahkan membengkak menjadi Rp349 triliun.
Silahkan baca artikel sumber di {golkarpedia}