Jakarta, Rakyat Menilai — Menteri ESDM Bahlil Lahadalia punya tiga jurus untuk mengurangi banjir impor minyak hingga liquefied petroleum gas (LPG).
Bahlil mengakui Indonesia sudah bukan raja minyak. Beda dengan era 1996-1997, Indonesia sebagai bagian Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menikmati 40 persen-50 persen cuan berkat ekspor minyak. Produksi minyak Indonesia pernah menyentuh 1,6 juta barel per hari. Sementara itu konsumsi hanya 700 ribu barel setiap harinya.
Tapi, sekarang kondisinya berbalik. Bahlil menyebut lifting minyak Indonesia hanya 600 ribu barel setiap harinya. Di sisi lain, konsumsinya justru melonjak jadi 1,6 juta barel per hari.
“Kita impor (minyak) 900 ribu barel hingga 1 juta barel. Inilah tantangan yang paling besar menurut saya yang Indonesia harus lakukan ke depan,” kata Bahlil dalam video sambutan detikcom Leaders Forum di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, dikutip dari Detik, Rabu (11/9/2024).
“Sejalan dengan visi besar Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) maupun pikiran besar dari Pak Prabowo (presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto) ke depan, salah satu di antaranya adalah kemandirian energi. Maka tidak ada cara lain adalah bagaimana caranya kita meningkatkan lifting minyak kita dengan memakai tiga pendekatan,” sambungnya.
Pertama, Bahlil menegaskan Indonesia harus segera melakukan eksplorasi terhadap potensi sumur-sumur minyak baru. Kedua, mengoptimalisasi sumur minyak eksisting.
Anak buah Jokowi itu menyebut ada 65 persen total lifting minyak di tanah air dikuasai PT Pertamina (Persero). Sementara itu, 26 persen lainnya dipegang ExxonMobil.
Bahlil mendorong intervensi teknologi untuk meningkatkan lifting minyak Indonesia. Ini bisa ditempuh salah satunya melalui teknologi enchanced oil recovery (EOR).
“Yang ketiga adalah kita juga sedang mengidentifikasi untuk mengoptimalkan potensi sumur-sumur idle yang masih produktif. Nah, ini mungkin yang bisa kita lakukan,” tegas Bahlil.
Ia kemudian menyinggung konsumsi LPG di Indonesia yang mencapai 7 juta ton per tahun. Bahlil menyebut industri dalam negeri hanya mampu menyuplai 1,9 juta ton, sedangkan sisanya mesti impor.
Khusus untuk menggenjot produksi LPG, Bahlil akan membangun industri dalam negeri yang memanfaatkan potensi propana (C3) dan butana (C4). Ia yakin langkah ini bisa menekan impor LPG yang dilakukan Indonesia selama ini.
“Kalau impor terlalu banyak akan berdampak pada neraca perdagangan, neraca pembayaran kita, devisa kita. Bahkan, hari ini devisa kita setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp450 triliun hanya untuk membeli minyak dan gas untuk khusus LPG,” bebernya.
Di lain sisi, pemerintah juga tengah membangun jaringan gas rumah tangga. Pipa gas disiapkan untuk menghubungkan sejumlah daerah, dari Aceh sampai Pulau Jawa.