Jakarta, RakyatMenilai.com – Dalam riuhnya isu politik dan ekonomi, sebuah kabar mengejutkan datang dari Gedung DPR RI. Presiden Prabowo Subianto secara istimewa memberikan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong. Keputusan ini, yang disetujui oleh DPR, bak sihir yang memotong belitan hukum yang selama ini menjerat kedua tokoh tersebut. Sebuah tindakan yang memancing tanya tanya besar bagi publik.
Amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif presiden, sebuah hak istimewa yang memungkinkan kepala negara mengambil keputusan di luar prosedur hukum yang biasa. Ini adalah sebuah kekuasaan yang luar biasa, mampu mengakhiri proses hukum yang panjang dan melelahkan dalam sekejap mata.
Langkah ini seolah mengirimkan sinyal bahwa ada jalan pintas untuk menyelesaikan masalah hukum, terutama yang melibatkan figur-figur penting.
Kisah amnesti untuk Hasto Kristiyanto menjadi sorotan utama. Hasto, yang sebelumnya divonis hukuman 3,5 tahun penjara atas kasus suap, kini bisa bernapas lega. Putusan ini menghentikan semua konsekuensi hukum yang menjeratnya.
Sementara itu, Tom Lembong juga mendapatkan abolisi. Proses hukum terhadapnya yang terkait dengan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar dalam kasus impor gula, kini dihentikan.
Pemberian amnesti dan abolisi ini disampaikan melalui Surat Presiden (Surpres) Nomor 42 Pres 07 27 25 tertanggal 30 Juli 2025. Prosesnya pun cepat, hanya butuh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42 Pres 07 27 25 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Wakil Ketua DPR Dasco, mengumumkan keputusan yang melegakan banyak pihak.
Keputusan ini tak lepas dari Pasal 14 UUD 1945, yang memang memberikan hak tersebut kepada presiden. Namun, kecepatan dan ketepatan waktu keputusan ini menimbulkan pertanyaan: mengapa masalah hukum yang sudah berlarut-larut bisa diselesaikan begitu cepat, sementara jutaan kasus lain masih menumpuk?
Ini adalah antitesis dari apa yang seringkali kita saksikan dalam sistem hukum Indonesia, di mana sebuah kasus bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, bahkan untuk kejahatan ringan.
Sikap presiden yang tegas dan cepat dalam menggunakan hak prerogatifnya, seolah menegaskan bahwa politik bisa menjadi alat yang ampuh untuk membersihkan “dosa-dosa” masa lalu.
Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang prinsip keadilan. Apakah penegakan hukum bisa “dimaafkan” begitu saja atas nama stabilitas politik atau kepentingan lain? Di satu sisi, ini menunjukkan sebuah kekuasaan yang tak terbatas dari seorang presiden. Di sisi lain, ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap proses hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Paradigma ini seolah mengatakan bahwa untuk masalah hukum, ada hak istimewa yang bisa digunakan. Dan ini menunjukkan bahwa, di pemerintahan manapun, selalu ada sisi koin yang berlawanan. Satu sisi yang cepat dan politis, dan sisi lain yang lamban namun penuh dengan proses.
Pada akhirnya, keputusan ini akan selalu dikenang sebagai langkah politik berani dari Presiden Prabowo. Namun, di balik itu, ada pertanyaan-pertanyaan besar yang tak terjawab, tentang sejauh mana batas antara hukum dan politik bisa dipertukarkan.
Dan ini menunjukkan bahwa, di pemerintahan manapun, selalu ada dua sisi koin yang berlawanan. Satu sisi yang cepat dan politis, dan sisi lain yang lamban namun penuh dengan proses.







