Jakarta, Rakyat Menilai — Hasil survei elektabilitas partai politik kerap berbeda dengan realitas Pemilu. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya misalnya. Dua parpol seperti PAN dan PPP kerap diprediksi tidak lolos. Namun pada kenyataannya, PAN dan PPP selalu lolos parliamentary threshold. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Peneliti Saiful Mujani & Research Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan, beberapa alasan hasil survei berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Alasan pertama, survei memotret realitas masyarakat yang terjadi ketika survei dilakukan di mana jarak antara survei dan pelaksanaan Pemilu.
“Jarak waktu antara pelaksanaan survei dengan hari pemilihan bisa membuat hasilnya berbeda. Karena di masa itu sangat mungkin pilihan warga bergeser karena ada kampanye dan mobilisasi,” ungkap Saidiman saat diwawancarai, Jumat (26/5).
“Jarak waktu antara pelaksanaan survei dengan hari pemilihan bisa membuat hasilnya berbeda. Karena di masa itu sangat mungkin pilihan warga bergeser karena ada kampanye dan mobilisasi,”.
Peneliti Saiful Mujani & Research Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad
Alasan kedua, ketika survei biasanya ada warga yang belum mau menyebutkan pilihannya. Sehingga mempengaruhi komposisi suara.
“Kalau responden yang belum menentukan pilihan itu dominan menjatuhkan pilihan ke satu partai di hari pemilu, itu juga bisa mengubah komposisi suara,” lanjutnya.
Alasan ketiga, di dalam survei ada margin of error yang seringkali disalahpahami oleh masyarakat.
“Jadi jika suara sebuah partai 10 persen dan margin of error 2 persen, maka cara bacanya adalah suara partai tersebut berkisar antara 8 sampai 12 persen. Cara baca hasil survei ini yang kadang membuat orang salah paham,” katanya.
Sementara itu, Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, efek caleg memiliki peran penting dalam mendongkrak suara partai politik di hari H Pemilu.
“Nah, efek caleg itu yang membuat di hari pemilihan itu sering kali lebih tinggi daripada suara di survei karena di survei kan belum ada nama-nama caleg,” ungkap Bawono.
“Itu yang dikenal proporsional terbuka, kenapa partai-partai sebagian besar menginginkan proporsional terbuka karena efek caleg sebagai vote getter, artis-artis tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi,” tutupnya.
“Nah, efek caleg itu yang membuat di hari pemilihan itu sering kali lebih tinggi daripada suara di survei karena di survei kan belum ada nama-nama caleg,”.
Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro
Dia mencontohkan, ketika belum masuk ke TPS sebagian masyarakat sudah memiliki pilihan mau mencoblos partai A karena suka dengan partainya.
Namun, ketika di hari pemilihan dan membuka kertas suara ternyata di partai B ada caleg artis atau tokoh yang dikenal, maka pindah ke lain hati.
Efek caleg inilah yang membuat sebagian besar partai politik lebih menyetujui sistem proporsional terbuka. Karena para tokoh maupun artis yang diajukan partai politik bisa meraup banyak suara.
“Itu yang dikenal proporsional terbuka, kenapa partai-partai sebagian besar menginginkan proporsional terbuka karena efek caleg sebagai vote getter, artis-artis tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi,”.
Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro
Pesta demokrasi di Indonesia semakin dekat. Masyarakat akan memilih kepala negara, kepala daerah, pejabat legislatif, dan jabatan lainnya.
Maka dari itu, untuk memperkirakan siapa saja yang akan menduduki jabatan tertentu berbagai lembaga mulai melakukan survei. Namun, hasil survei kerap kali berbeda dengan hasil Pemilu nanti.
1 dari 2 halaman, silahkan baca halaman selanjutnya klik link dibawah ini:
Pengamat politik, Ujang Komarudin menuturkan, perbedaan hasil survei tergantung … >>