Visit Sponsor

Written by 11:08 pm Opini, Parlemen

Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Sebut 4 Tantangan Pelaksanaan Pemilu 2024

Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung

Beragam spekulasi muncul sejak tahun lalu terkait jadi-tidaknya pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024. Mulai dari isu perpanjangan masa jabatan presiden, penundaan pemilu, kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipertanyakan, efek gugatan Partai Prima di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta independensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Masih ada beberapa anomali lainnya yang membuat publik bingung terkait realisasi hajatan lima tahunan tersebut.

Komisi II DPR yang bertanggung jawab mengawal setiap tahapan proses Pemilu 2024 di parlemen,sangat concern dengan setiap perkembangan yang terjadi. Meski demikian, seluruh fraksi di Senayan sepakat bahwa pemilu harus berjalan sesuai amanat konstitusi. Tulisan ini mencoba menjelaskan kepada masyarakat terkait sejumlah tantangan pelaksanaan pemilu ke depan.

Pertama, isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden, saat ini sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Perppu tersebut bisa dimaknai bahwa pemerintah berkomitmen mendorong pemilihan nasional berjalan sesuai jadwal.

Pertama, isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan

Bahwa ada pihak-pihak di lingkaran kekuasaan yang (terkadang) masih saja memancing di air keruh, atau berupaya menyelundupkan kepentingan masing-masing, saya menganggap itu bagian dari tantangan konsolidasi demokrasi yang juga terjadi di banyak negara.

Yang terpenting, pemimpin nasional kita, Presiden, telah menunjukkan gestur politik untuk tidak mau dijebak dalam kubangan pelanggaran konstitusi. Gestur itu semakin tebal dengan endorsement Jokowi ke Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo sebagai calon penerusnya. Terkait dukung-mendukung bakal capres, kita bisa berbeda pendapat. Namun poinnya adalah bahwa pemilu (termasuk pilpres) semakin terang-benderang.

Kedua, kredibilitas KPU yang dipertanyakan. Justru di sinilah titik krusial pelaksanaan pemilu—setelah isu penundaan mulai mengendur—mengingat sejauh ini lembaga penyelenggara tersebut justru menghadapi sejumlah gugatan, dan juga diterpa isu miring personal. Dalam hal gugatan, KPU harus bekerja keras untuk memenangkan banding atas putusan PN Jakarta Pusat (yang tidak sesuai kewenangannya) di peradilan yang lebih tinggi.

Meski dalam keyakinan publik, PN Jakpus tidak berhak mengadili perkara terkait pemilu, namun apapun itu, opsi banding sudah diambil KPU, yang artinya mereka harus memenangkannya. Sebab bila kalah maka akan mengganggu tahapan pemilu lainnya. Di sisi lain, Partai Prima tidak hanya memenangkan gugatan di PN Jakpus, melainkan juga di Bawaslu. Itu artinya ada proses administratif di KPU yang tidak professional, sehingga muncul celah-celah yang berujung sengketa.

Kedua, kredibilitas KPU yang dipertanyakan

Alhamdulilah dalam perkembangan terkini, majelis Hakim Banding akhirnya membatalkan putusan penundaan pemilu sebelumnya. Tetapi ini bukan “kemenangan” KPU, melainkan alarm agar ke depan lebih berhati-hati dan prudent dalam mengelola setiap tahapan.

Peringatan Terakhir DKPP

Saya menyarankan agar para komisioner KPU fokus pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi), seraya menganggap setiap tahapan pemilu sebagai “pertandingan final”. Sehingga dengan spirit semacam itu akan memunculkan keseriusan. Di sini sikap under-estimate atau over-confidence justru akan menjadi mimpi buruk, karena dalam dunia politik apapun bisa terjadi.

Menghadapi semua itu, KPU harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, dengan plan A, B dan C agar hasil maksimal bisa diraih demi kelangsungan demokrasi kita. The best preparation for tomorrow is doing your best today, sebagaimana ditulis H Jackson Brown, Jr.

Ironisnya di tengah harapan kita semua agar KPU semakin kuat dan kokoh dalam menata pemilu, ada kasus personal yang melibatkan Ketua KPU Hasyim Asyari. Sebagaimana putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), lembaga pengadil pemilu itu memberikan sanksi Peringatan Keras Terakhir kepada Ketua KPU karena terbukti telah melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Pelanggaran dimaksud adalah adanya bukti perjalanan pribadi dari Jakarta menuju Yogyakarta bersama salah satu ketua partai yang tengah dalam tahap verifikasi.

DKPP menganggap tindakan tersebut tidak profesional dan berpotensi menimbulkan conflict of interests. Di sisi yang lain, pada waktu yang sama dengan pelanggaran tersebut, 18-20 Agustus 2022, Ketua KPU memiliki agenda resmi yakni menghadiri penandatangan MoU dengan tujuh perguruan tinggi di Yogyakarta. Tentu saja hal-hal semacam ini sangat mengkhawatirkan bagi peserta pemilu (partai politik), mengingat hitam-putihnya pemilu, tegak-lurusnya ritual demokrasi ini, sangat tergantung dari kredibilitas KPU dan Bawaslu.

Ketiga, pentingnya imparsialitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ke semua pihak.

Ketiga, pentingnya imparsialitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ke semua pihak. Sebelumnya kita melihat Bawaslu memperingatkan salah satu bakal capres untuk tidak menggunakan tempat ibadah sebagai media kampanye. Meskipun saat ini belum masuk tahapan resmi kampanye, namun langkah preventif Bawaslu patut diapresiasi.

Hanya saja pada kasus lain, seperti pembagian amplop salah satu anggota partai di Madura, lembaga pengawas pemilu menyatakan itu bukan pelanggaran, karena belum diatur dan masuk waktu kampanye. Kontradiksi semacam ini tentu saja menimbulkan kebingungan di banyak pihak. Pasalnya bila semua caleg mengacu putusan Bawaslu terakhir, itu berpotensi memicu pengulangan “pelanggaran” oleh banyak pihak.

Pasalnya sumbangan atau amplop ke masyarakat dianggap bukan pelanggaran, selama belum masuk masa kampanye. Lebih dari itu, di tengah masih terbelahnya masyarakat (devided society) kita sebagai efek dari Pemilu 2019, Bawaslu harus menjadi institusi yang tegak dan imparsial, sehingga akan menimbulkan respek dari semua kelompok.

Lalu sebelumnya dalam kasus Partai Prima, Bawaslu juga—meminjam istilah anak sekarang—menunjukkan gestur ambigu yang “problematik”. Di mana saat itu mereka melakukan blunder kala mengabulkan tuntutan Partai Prima yang kedua. Sementara pada gugatan pertama Bawaslu menolaknya. Putusan yang berlawanan ini (pada kasus yang sama) menurut sejumlah pihak patut diduga karena absennya profesionalitas dalam pengambilan keputusan. Mungkin juga karena Bawaslu tidak independen selama proses tersebut.

“Hambatan” di Kemenkeu

Keempat, ini mungkin isu lama, namun saya tidak bosan-bosan untuk mengulang lagi, sekaligus sebagai masukan bagi Kemenkeu. Mengapa? Karena ini juga akan mengurangi “kekhusyukkan” dan kelancaran kita dalam berpemilu dan berdemokrasi. Berkaca dari banyaknya Petugas Pemungutan Suara (PPS) yang meninggal dan sakit pada Pemilu 2019 lalu, Komisi II mencari sejumlah cara, berpikir out of the box, agar para “ujung tombak demokrasi” itu mendapat perlindungan kesehatan dan penghargaan yang memadai.

Sejak 2021, kami sudah mengusulkan agar ada peningkatan honor PPS dan asuransi, selain pembatasan usia. Semua upaya itu dilakukan agar negara bertanggung jawab pada setiap tahapan pemilu, hingga ke level terbawah. Namun tampaknya upaya tersebut menemui banyak rintangan, karena Kemenkeu sampai hari ini belum menyetujuinya. Alibi adanya pengalihan anggaran negara untuk penanganan pandemi, tentu kita semua sepakat. Tetapi seiring menurunnya kurva Covid-19 dan persiapan memasuki masa endemi, seharusnya Kemenkeu juga melonggarkan anggaran pemilu, demi peningkatan kualitas demokrasi kita.

Keempat, ‘Hambatan’ di Kemenkeu

Di sisi lain, akhir-akhir ini publik justru dikejutkan dengan dugaan korupsi yang dilakukan sejumlah pejabat tinggi di Kemenkeu, sehingga mencederai rasa keadilan bersama. Lebih ironis lagi, di tengah “pesta pora” oknum pejabat Kemenkeu tersebut, Kementerian sampai saat ini belum menyelesaikan kewajiban pencairan Dana Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2014.

Ya, Anda tidak sedang salah baca, memang faktanya demikian, itu utang negara pada para anggota KPUD sejak sembilan tahun lalu. Dari pengakuan yang didapatkan Komisi II, banyak diantara eks anggota KPUD yang sekarang mengalami kesulitan ekonomi. Padahal mereka telah bekerja secara profesional, mengantarkan terbentuknya pemerintahan baru.

Itulah empat tantangan Pemilu 2024 yang harus kita carikan jalan keluarnya dalam beberapa minggu ke depan. Harapannya, semakin cepat penyelesaian setiap tantangan, semakin baik bagi pelaksanaan pemilu. Selain itu juga akan mempertebal trust kepada penyelenggara, yang pada akhirnya akan memperkuat konsolidasi demokrasi yang tengah berjalan.

Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung Ketua Komisi II DPR

Silahkan baca artikel sumber di {golkarpedia}

(Visited 210 times, 1 visits today)