Jangan Asal Tuduh! Bahlil Lahadalia Dijadikan Kambing Hitam Kasus Tambang Raja Ampat?

Publik Berhak Tahu: Izin Tambang Dikeluarkan Sebelum Bahlil Menjabat Menteri ESDM

JAKARTA — Nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali jadi sasaran tembak. Setiap ada polemik soal migas atau tambang, sosok kader Partai Golkar ini seolah-olah selalu dijadikan tertuduh, bahkan seperti tervonis, meski belum setahun menjabat Menteri ESDM.

Pola tudingan ini kembali muncul dalam polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Publik dipaksa percaya bahwa Bahlil adalah dalang di balik rusaknya surga laut Indonesia itu. Padahal, jika mau jujur dan adil sejak dalam pikiran, faktanya jelas: izin tambang PT GAG Nikel diterbitkan jauh sebelum Bahlil punya jabatan di pemerintahan.

“Izin itu keluar tahun 2017, saat saya masih profesional, belum menjabat apapun di pemerintahan,” terang Bahlil, dikutip dari Kumparan.

Kala itu, Bahlil masih menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Ia bahkan belum menjadi Kepala BKPM, apalagi Menteri ESDM.

Kebijakan Lama, Menteri Baru

Menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI), izin usaha pertambangan (IUP) PT GAG Nikel diberikan pada 30 November 2017 melalui Akta Nomor 430.K/30/DJB/2017, di masa Menteri ESDM Ignasius Jonan. Artinya, secara yuridis dan administratif, Bahlil tak punya andil sama sekali dalam pemberian izin tambang tersebut.

Sebagai anak usaha dari PT Antam yang merupakan BUMN, PT GAG Nikel juga merupakan entitas tambang negara. Prosedur pemberian izin pun melibatkan rekomendasi gubernur, bupati, hingga Kementerian ESDM. Semua berlangsung sebelum sistem digital OSS berlaku dan sebelum Bahlil masuk kabinet.

Sayangnya, logika publik seakan ditarik untuk menelan narasi sesat. Penulis Imad Imaduddin dari Prolog Initiatives mengingatkan agar semua pihak berhati-hati dalam menyusun opini.

“Jika sengkarut tambang ini menjadi instrumen disinformasi, maka itu tentu harus dikoreksi,” tegasnya.

Respons Tegas, Tapi Terukur

Di tengah gempuran tudingan, Bahlil memilih langkah konkret. Ia langsung turun ke lokasi dan menghentikan sementara operasi tambang. Ini bukan reaksi emosional, tapi keputusan terukur demi menjaga integritas hukum, lingkungan, dan citra Raja Ampat sebagai destinasi wisata dunia dan Geopark Unesco.

Penanganan kasus ini, menurut pengamat, justru menunjukkan bahwa Bahlil tidak tinggal diam. Ia menempuh jalur hukum dan prosedural untuk mengevaluasi ulang izin tambang. Jika memang harus dicabut, maka pencabutan harus melalui dasar yang sah.

Sebaliknya, pihak-pihak yang mencoba menggiring opini publik agar menyalahkan Bahlil patut dipertanyakan niatnya. Apakah ini murni kepedulian lingkungan, atau ada vested interest yang sedang bermain di balik layar?

Bukan Soal Siapa Salah, Tapi Soal Fakta

Tulisan ini bukan untuk mencari siapa yang salah. Tapi publik berhak tahu siapa sebenarnya yang bertanggung jawab. Dan lebih penting lagi, agar kebijakan publik tidak salah arah karena disinformasi.

“Publik harus paham bahwa pejabat publik bertanggung jawab atas kebijakan yang ia ambil, bukan atas keputusan yang dibuat pendahulunya,” tulis Imad dalam opininya yang dikutip Kumparan.

Jika kita benar-benar ingin menyelamatkan Raja Ampat, maka solusi harus menyasar akar persoalan—bukan sekadar mencari kambing hitam dari Partai Golkar.

sumber: golkarpedia